Oleh: Herman Katmo*
Tak mungkin bagi saya, membalut luka sayat di hati, melupakan Sang
Pejuang, guru SD yang terpaksa menjadi Jenderal, Umeki Kelly Kwalik (Alm).
Bukan karena dia seorang kepala suku Amungme, tapi karena Dialah putra adat
Amungsa sekaligus pemimpin perjuangan rakyat Papua, yang konsisten mengobarkan
api perlawanan Terhadap Kejahatan Freeport dan Negara hingga akhir hayatnya
dalam kesahajaan. Perjuangan Dia mewakili suara para korban (perempuan dan
anak-anak). Juga mewakili ketegaran para pemimpin sejati Papua dan jiwa-jiwa
leluhurnya di Nemangkawi, yang dengan sadar menolak segala kemewahan, sogokan
dan melawan keangkuhan Freeport. Sebab korporasi itu memanen dolar dari tanah
leluhur kami, sambil terus menggali kuburan bagi rakyat Papua. Umeki bukan
penjahat seperti yang dituduhkan! (Kahar Nobara).
Freeport Ilegal: Hasil persengkokolan jahat, yang berujung pada
pengabaian hak politik rakyat Papua dan mekanisme demokrasi
Nemangkawi (Erstberg), Greesberg, dan gunung-gunung salju lainnya
yang mengandung sejumlah besar mineral berharga bagi komoditi pasar dunia telah
menjadi tujuan yang sangat ambisius bagi Amerika Serikat, blok modalnya, serta
pemerintah Indonesia. Untuk tujuan itu, hak-hak dasar orang Papua telah lama
dikorbankan, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri.
Rezim Militer Orde Baru mendukung upaya investasi Freeport di
Papua dengan cara melahirkan dua unndang-undang yakni, Undang Undang No 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.
Dengan dasar dua undang undang diatas, Kontrak Karya (KK) I dengan
Resim Militer Orde Baru dilaksanakan pada 5 April 1967 dan berlaku selama 30
tahun, terhitung sejak eksplorasi Erstberg beroperasi pada bulan Desember.
Proses penandatangan ini KK I ini ilegal karena terjadi dua tahun
sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan PBB pun belum mengakui Papua
sebagai wilayah Indonesia. Saat ini aktivitas eksploitasi dijalankan sesuai KK
II yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 untuk jangka waktu 30
tahun, dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 10 tahun. Namun
KK II inipun mengandung unsur Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN), sebab
dilakukan 6 tahun sebelum KK I berakhir, sangat tertutup, dan tidak melalui
konsultasi dengan komunitas masyarakat pemilik hak ulayat.
Demi amannya bisnis Freeport, dengan tekun James R Moffet membina
persahabatan dengan Presiden Soeharto dan kroninya – policy paper PBHI, merujuk
laporan New York Times.
“Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya
kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang
memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.” Diuraikan dalam policy paper
tersebut bahwa antara tahun 1998-2004 Freeport telah memberikan hampir 20 juta
dolar (sekitar Rp 184 miliar) dan tambahan 10 juta dolar (sektar Rp 90 miliar)
kepada jenderal, colonel, mayor, dan kapten tentara maupun polisi, dan
unit-unit militer.
“Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk
membangun infrastruktur militer…dan perusahaan juga memberikan para komandan 70
buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa
tahun.”[1]
Sejak awal Freeport tidak jujur dan tidak adil[2]
Banyak cerita bahwa sejak mulai lakukan eksplorasi, perusahaan ini
‘membeli’ kedaulatan masyarakat Amungsa atas hak ulayat dengan menghadiahi
barang komoditi tertentu yang murahan, memanfaatkan keawaman dan
ketidakberdayaan masyarakat saat itu.
Setelah eksplorasi, selama puluhan tahun memanen keuntungan besar
tapi masyarakat tidak pernah tahu berapa besar hasil yang diperoleh dari
pengerukan sumberdaya alam itu. Apa jenis kandungan mineral yang
diperoleh pun tak diketahui. Tanggungjawab social perusahaan juga baru
kelihatan setelah protes terbuka dengan memogokkan aktifitas perusahaan selama
sehari yang didukung secara luas pada tahun 1995 – waktu itu James R Moffet
langsung ke Timika, dan Freeport mengucurkan dana 1 % dari keuntungannya.
Freeport dan Negara, aktor kekerasan
Tidak sedikit rakyat Papua Menjadi korban kekerasan di areal
pertambangan perusahaan raksasa ini, terutama manusia Amungme, Nduga, Damal,
Dani, Moni, Mee, dan Kamoro.
Rezim Militeristik Orde Baru telah menjamin berjalannya investasi
perusahaan ini, hampir tanpa protes yang berarti selama bertahun-tahun, meski
perusahaan ini terindikasi melakukan kejahatan ekonomi, kejahatan kemanusiaan,
perusakan lingkungan dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Kalaupun ada protes dari masyarakat, dengan cepat dan tanpa ampun
tentara akan menghadapinya dengan pendekatan-pendekatan yang sangat
militeristik. Tidak semua kasus kekerasan disebut disini, hanya beberapa saja
yang mewakili kekerasan kolektif. “Gejolak 77”, yakni sebuah protes masyarakat
yang dilakukan pada tahun 1977 dengan mencoba memotong pipa aliran konsentrat
di Tembagapura, yang berbuntut pada tindak kekerasan ABRI yang membekas di hati
masyarakat hingga hari ini.
Di tahun 1994-1995 juga terjadi peristiwa kekerasan kolektif
terhadap masyarakat sipil yang di-cap OPM karena mengibarkan berdera Bintang
Kejora dalam keadaan damai di perkampungan sekitar tembagapura, sebagai bentuk
protes pada Freeport. [3]
Antara Januari-Mei 1996, pasukan ABRI dan 16 orang tentara bayaran
(SAS, pasukan elit angkatan udara Inggris) melakukan silent operasi di
Bela, Jila, Alama dan desa Ngeselema (Mpnduma) – sekitar konsesi Freeport –
dengan maksud membebaskan sandera para peneliti asing. Akibatnya, “ada 7
perempuan diperkosa atau secara seksual dilecehkan (1 berumur 3 tahun dan 2
diantaranya berumur 11 tahun); 6 anak sekolah menjadi korban ledakan granat
yang disimpan pasukan ABRI di sebuah rumah penduduk (3 diantaranya mati seketika,
2 meninggal dunia setelah dirawat dan 1 lainnya cacat seumur hidup); 4 orang
dianiaya dan 2 orang lainnya ditembak dan diintimidasi.”[4]
Saat operasi ini, kebun dan ternak masyarakat dimusnahkan. Karena
ketakutan, banyak masyarakat menggungsi ke hutan, akibatnya sekitar 213 orang
masyarakat meninggal dunia karena kekurangan bahan makanan dan sakit. Antara
9-13 Mei, ada 8 warga sipil terbunuh, 4 orang ditemukan telah menjadi mayat, 2
warga Indonesia yang disandera dibunuh.
Secar tersamar, Freeport adalah pembawa situasi konflik
Tiap Minggu Kacau, begituah kepanjangan yang diberikan oleh masyarakat Papua di
Timika, memplesetkan kepanjangan kata Timika. Namun esensi reputasi untuk kota
Timika itu jelas memilik hubungan langsung dengan keberadaan Freeport.
Korporasi itu tidak bisa lepas dari tanggungjawab sosial-politik terhadap
situasi sekitar areal konsensinya, terutama Timika kota dengan intensitas
konflik tinggi, berdimensi luas, dan laten – bak api dalam sekam. Konflik yang
menjadi sifat bawaan Freeport itu berdimensi sangat luas. Ada aspek ekonomi,
sosial, budaya, hukum, perburuhan, agraria, politik dll. Tapi secara garis
besar dapat dikelompokkan menjadi: konflik vertikal maupun horisontal; Konflik
yang muncul secara alamiah maupun konflik yang muncul terkait rekayasa kelompok
tertentu.
Pertumbuhan ekonomi disatu pihak dan marginalisasi masyarakat asli
adalah satu pemicu kecemburuan social yang setiap saat bisa memicu gesekan.
Zely Ariane (koordinator Napas) menulis, “Sejarah masuknya Freeport adalah
jejak perampasan, pendudukan, kontrol terhadap tanah dan alam orang-orang
Amugme dan Komoro, menghancurkan ekonomi dan mata pencarian masyarakat asli.
Orang-orang Amugme dan Komoro terus tergusur dan dipinggirkan secara ekonomi,
politik, sosial dan budaya oleh invasi kapital yang menjanjikan pertumbuhan
ekonomi di kota-kota yang diciptakan oleh pertambangan dan infrastrukturnya,
termasuk pemindahan besar-besaran penduduk dari P. Jawa ke Papua oleh
pemerintahan Orba. Di tahun 1990-an di sekitar area tersebut populasi membuncah
menjadi lebih dari 60.000 orang, membuat TImika menjadi ‘zona ekonomi’ yang
tumbuh paling cepat di seluruh nusantara (culturalsurvival.org). Satu persen
royalti masyarakat asli adalah kembang gula yang tidak jelas dan pada
prakteknya ditujukan untuk memecah belah orang-orang Papua sendiri.”[5]
Peristiwa Tewasnya dua guru asal Amerika dan rangkaian penembakan
misterius antara Juli 2009-Januari 2010: Ada seting menggiring perjuangan
rakyat Papua tersandung stigma Teroris? Atau apakah ini bagian dari konflik
perebutan hak atas bisnis pengamanan?
Sub topik ini saya ajukan, sebab sejauh pengamatan saya, ada dua
peristiwa kekerasan kolektif yang penting untuk diungkap, dimana aparat
keamanan secara jelas menuding pelakunya adalah TPN dan orang Papua, tapi tidak
pernah dibuktikan dalam pengadilan yang adil.
Pertama, peristiwa penembakan terhadap Bus yang mengangkut
sejumlah orang Asing, hingga menewaskan dua guru Amerika (Mei 2002)[6].
Kedua, Rangkaian penembakan misterius antara Juli 2009-Januari
2010 yang memuncak pada pembunuhan Jenderal Umeki Kwalik.
Menurut KOMPAS.com, sejak 11 Juli-23 Oktober 2009, rentetan aksi
ini telah mengakibatkan empat orang tewas, dua diantaranya warga sipil, dan
puluhan orang cedera. Sedangkan SKH Cenderawasih Pos (Kamis, 17 Desember 2009)
memberitakan bahwa antara 8 Juli-November 2009 total korban meninggal sebanyak
delapan orang, dan yang mengalami luka-luka sebanyak 37 orang.
Meski belum ada data valid dari institusi kepolisian sebagai pihak
yang paling berkompeten, sejumlah pejabat TNI di Papua berupaya membentuk opini
publik bahwa TPN dan Jenderal Kwalik adalah pelaku dari rangkain kekerasan ini.
Kepala Dinas Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Letkol Inf Susilo
kepada wartawan mengatakan, terkait rangkain penyerangan di Tembagapura, Kodam
XVII/Cenderawasih meminta agar semua pihak harus waspada dan mencermati adanya
pemutarbalikan fakta dari TPN/OPM.
“Sebab selama ini kelompok TPN/OPM selalu memfitnah TNI dan aparat
keamanan kita yang merekayasa tindak kekerasan,” tandasnya. Sebaliknya, mereka
terlihat begitu difensif menaggapi hasil olah TKP yang mana ditemukan
bukti-bukti berupa sejumlah selongsong peluruh buatan pabrik senjata dan
peluruh milik Angkatan Darat (Pindad). Banyak kalangan menilai pihak kepolisian
sangat lamban dalam mengungkap kasus ini, sementara masyarakat sipil di Timika
terus berada dalam suasana ketakutan (hilangnya rasa aman) karena operasi
penyisiran aparat kepolisian.
Kapolri maupun Kapolda Papua berjanji akan terus berupaya
mengungkap pelaku, jaringan, dan latar belakangnya. ”Kami tidak tinggal diam.
Kami berupaya mengungkap kasus ini pelan-pelan. Mudah-mudahan pelakunya dapat tertangkap,
dan saat ini kami masih berupaya melakukan pengejaran terhadap pelaku,” jelas
Kapolda.
Berdasarkan dugaan, pihaknya telah menetapkan daftar pencarian
orang (DPO), sambil lakukan pengamanan ketat di Mile 53 ke atas, tapi mengakui
kemungkinan pelaku menghindari patroli pengamanan. Kapolda mengatakan, anak
buahnya setiap hari harus mengawal 106 kontainer siang maupun malam, juga
mengawal bus karyawan Freeport. “Itu kita kawal di depan, tengah dan
belakang. Hanya saja, sarana kita terbatas sehingga kendaraan harus gantian.
Selain dibantu TNI, Polri sudah membuat pos-pos pengamanan dimana setiap pos
ditempati 6-8 personel, namun mereka melakukan penembakan sekitar 60 – 80 meter
dengan kondisi alam yang curam sehingga menyulitkan pengejaran,” jelasnya.
Dalam waktu singkat, wacana telah melegitimit, orang Papua dan
Tuan Kwalik adalah pelaku rangkaian penembakan itu. Operasi penyisiran dan
penyergapan berjalan, Kencana Lestari adalah nama sandinya. Dengan kekuatan
Brimob Polri, Detasemen Khusu 88 Antiteror, Badan Intelijen Polri, dan jajaran
Polda Papua, yang langsung dikoordinasikan dengan Deputi Operasi Mabes Polri.
Pihak Polri dan Polda Papua menegaskan bahwa sesuai laporan polisi tanggal 31
Agustus 2002, Jenderal Kwalik merupakan Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam
kasus mile 62-63, yang menewaskan Ricky Lyne Spier dan Edwin Leon Murgon (warga
Amerika) dan FX Bambang Riyanto.
Dari peristiwa ini Jenderal Kwalik diburu dengan jeratan ”pasal
340 KUHP jo pasal 55 dan atau pasal 56 KUHP dan atau pasal 338 KUHP jo pasal 55
dan atau pasal 56 KUHP dan pasal 351 ayat 1 dan 2 jo pasal 55 dan atau pasal 56
KUHP dan pasal 1 Undang-undang Darurat RI No 12 Tahun 1951 jo pasal 55 dan atau
pasal 56 KUHP.”
Polda Papua bahkan memberi tawaran, siapa saja yang dapat memberikan
informasi keberadaan Jenderal Kwalik hingga tertangkap, akan diberi imbalan Rp
10 juta. ”Kelly buronan yang sudah lama sekali, lebih dari 10 tahun,” demikian
kata Brigadir Jenderal (Pol) Tito Karavian, waktu itu masih sebagai Kepala
Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri.
“Kami menilai bahwa aksi teror berupa penembakan yang sudah
terjadi selama beberapa hari di Timika Papua tersebut sarat dengan motif
politik yang menginginkan Papua pada kondisi ketidakamanan sehingga terus
menempatkan Papua sebagai daerah rawan konflik. Sehingga penting diingat bahwa
aksi kekerasan yang sekarang terjadi di Timika bukanlah yang pertama kali
terjadi. Jauh sebelum tahun 2009 pun sudah terjadi berbagai peristiwa kekerasan
serupa. Bahkan tahun ini, sebelum pelaksanaan pesta demokrasi Pileg dan Pilpres
berbagai peristiwa kekerasan di Papua juga terjadi. Di titik itu, peristiwa
kekerasan di Papua bisa menjadi suatu rangkaian yang terpisah tetapi juga bisa
menjadi suatu rangkaian kekerasan yang saling terkait dengan tujuan menciptakan
insecurity di Papua,” terang Poengky Indarti saat konferensi pers di Jakarta
(14/07/09).
Direktur Hubungan Eksternal Imparisial ini meminta aparat keamanan
supaya tidak semudah itu menuding TPN/OPM sebagai pelaku sebelum proses hukum
yang benar dijalankan.
Menurutnya, dari analisa Imparsial, berbagai kemungkinan penyebab
rangkaian aksi kekerasan itu antara lain akibat: efek dari persaiangan politik
kekuasaan di Jakarta; pertarungan bisnis jasa keamanan, aplagi kini keamanan
Freeport dipegang oleh security PT. FI dan aparat Kepolisian (berdasarkan
Kepres Pengamanan Obyek Vital Nasional No. 63 Tahun 2004); Dugaan serangan
TPN/OPM: dan lemahnya kontrol terhadap pergerakan pasukan di Papua.
Senada dengan itu, gabungan LSM (Kontras, Foker LSM Papua, PBHI,
Imparsial, Perkumpulan Praxis, Eksnas WALHI, JATAM) dan Persekutuan Gereja
Indonesia juga mengeluarkan empat butir pernyataan sikap di Jakarta (15/0709)
menyangkut situasi di Timika dan Papua.
”Kepada TNI dan kalangan pemerintah agar menghentikan pernyataan-pernyataan
provokatif atas berbagai insiden kekerasan yang terjadi di Papua, sepenuhnya
menyerahkan kepada pihak kepolisian dalam rangka penyelidikan-penyidikan secara
profesional dan terbuka; Kepada pihak kepolisian agar tetap menjaga
independensi dari intervensi pihak lain dalam pengungkapan motif dan pelaku
kekerasan; Kepada semua pihak untuk menghentikan stigmatisasi separatisme bagi
rakyat Papua dan memulai merumuskan solusi bersama dari ketidakadilan yang
terjadi melalui dialog damai; Kepda DPR RI 2004-2009 untuk segera mengumumkan
kepada publik hasil Panitia Khusus untuk kasus PT Freeport yang dibentuk tahun
2006.”
Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut yang sebelumnya telah
mendapatkan informasi dari Dr S Kirksey, antropolog dari Universitas
California, menilai bahwa rangkaian peristiwa teror ini bukan dilakukan oleh
OPM yang sesungguhnya. Ini merupakan skenario untuk mencapai target tertentu,
bahkan dilihatnya sebagai perang terbuka antara TNI-Polri dalam memperebutkan
dolar dari Freeport.
”Tahun 2002 saat pembunuhan WNA Amerika Serikat. Kalau OPM
yang dituduh, dimana mereka dapat senjata? Lalu bagaimana mereka masuk lokasi
pertambangan yang dijaga ketat oleh aparat keamanan Indonesia? Saya mendapat
pesan ini dari Dr. Eben.” Yaboisembut juga mengatakan bahwa masyarakat adat
tidak bodoh sehingga menodai perjuangan murni untuk memperoleh hak-hak yang
selama ini diabaikan dan ditindas. Rekayasa ini untuk membungkam dan
membunuh masyarakat adat Papua baik secara fisik maupun psikologi.
”Freeport tidak boleh lepas tangan kepada mereka yang kena musibah
dan korban, juga kepada keluarga mereka. Freeport adalah penyebab masalah ini,”
tegasnya.
Dalam sebuah pertemuan malam (27/07) dengan Gubernur Papua
barnabas Suebu, dan petinggi TNI-Polri, belajar dari pengalaman kasus
sebelumnya yang terjadi di Mile 62-63 pada 2002 lalu, tokoh-tokoh adat dan
masyarakat Timika terus mendesak kepolisian untuk menangkap pelaku penembakan
yang sebenarnya dan tidak mengorbankan warga sipil. Salah satu tokoh masyarakat
Kwamki Lama, Yacobus Kogoya, dalam forum itu menyatakan bahwa pelaku penembakan
bukan anggota organisasi Papua Merdeka. ”OPM tidak lagi. Di Timika tidak ada
OPM, dan yang melakukan penembakan bukan OPM.”
Sementara itu, sebagai wakil dari YAHAMAK, Hans Magal mengatakan
bahwa rentetan peristiwa itu telah menimbulkan keresahan di masyarakat,
terutama terkait penyisiran dan penangkapan yang dilakukan pihak polisi
terhadap masyarakat sipil. Padahal menurutnya, jika merujuk pada tempat
penemuan selongsong peluru yang dijadikan barang bukti, lokasinya jauh dari
pemukiman masyarakat dan bukan tertangkap tangan.
”Apakah barang bukti (peluru) ditemukan bersama masyarakat (warga
sipil yang ditangkap)?” Hans Magal menegaskan bahwa beberapakali kasusu
kekerasan terjadi di Timika oleh kelompok-kelompok kepentingan, masyarakat
selalu dijadikan korban.
Pdt. Lipyus Biniluk STh Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Tanah
Papua, dalam seruan moral dan meminta kepada semua pihak agar
menghentikan semua aksi kekerasan yang terjadi, termasuk penangkapan dan
intimidasi yang dilakukan pihak kepolisian kepada masyarakat sipil di Timika.
Sebab kekerasan yang terjadi di Freeport sangat menyengsarakan banyak
masyarakat Papua yang tak bersalah, terutama yang berada di sekitar lokasi
Freeport.
“Segera hentikan intimidasi, terror dan penangkapan yang sedang
terjadi atas warga sipil yang tidak bersalah dan stop kekerasan terhadap
masyarakat asli Papua di Timika,” ujarnya. Dan meminta kepada pihak berwajib
untuk mengungkap pelaku dibalik peristiwa ini. ”
Segera ungkap siapa aktor intelektual dibalik semua peristiwa
kekerasan yang terjadi di tanah Papua,” tegasnya. Selain itu, pimpinan gereja
juga menyerukan kepada pemerintah pusat segera melaksanakan dialog dengan
rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah Papua secara
bermartabat, adil dan manusiawi yang di mediasi pihak ketiga yang lebih netral.
Pertengahan Oktober 2009 Kapolda Papua Irjen Bagus Ekodanto
akhirnya mengutus anak buahnya untuk menemui Jenderal Kelly Kwalik, guna
memastikan benar tidaknya anak buah Kwalik adalah pelaku rangkain peristiwa
itu. Ternyata dalam pertemuan ini, Jenderal Kelly Kwalik menegaskan bukan
pihaknya yang melakukan serangkain penembakan dimaksud.
Markus Haluk melaporkan[7], sejak tanggal 20 juli 2009
aparat kepolisian melakukan operasi penyisiran dan menangkap disekitar kota
Timika dan areal pertambangan. Tujuh orang warga sipil asal suku Amungme yang
bermukim di Kota Timika (Kwamki Baru dan Kwamki Lama), juga di sekitar
Tembagapura ditangkap. Tanggal 23 Juli 2009 tujuh orang warga sipil asal
Amungme yang bermukim di Jalan Baru, Distrik Kwamki Baru ditangkap lagi.
Sekitar 25 warga sipil Papua telah di tangkap.
Hal ganjil dalam rangkain peristiwa ini adalah bahwa ada 1.500
pasukan keamanan (termasuk Densus 88) yang sudah disiagakan, juga tujuh orang
yang dituduh sebagai pelaku telah ditahan, namun peristiwa penembakan masih
saja terjadi.
“Ironis lagi sementara ke tujuh orang masih dalam tahananPolres
Mimika, berulang kali penembahkan masih terus terjadi di areal perusahan dan
telah melukai bahkan merengut korban warga sipil. Peristiwa terbaru adalah
penembakan terjadi pada tanggal 19 Oktober 2009 di mile 42 daerah dataran
rendah yang mudah terjangkau dan masih dalam status siaga satu bagi aparat
Keamanan di areal tersebut,” tulis Haluk dalam laporannya.
Lalu, setelah Jenderal Kelly Kwalik ditembak, siapa yang
memerintahkan penembakan pada tanggal 24 Januari 2010?
Menurut sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola – Koran
Jakarta (17/12/09) – selama masih ada perasaan ketidakadilan dan kesenjangan,
aksi-aksi separatis akan muncul kembali. ”Pengikut Kwalik akan melanjutkan
perjuangan OPM,” katanya.
Sementara pada koran yang sama, Sekjen Indonesia Human Right
Commitee for Social Justice (ICHCS), Gunawan, mengatakan bahwa situasi keamanan
di Papua tidak akan banyak berubah pasca tewasnya Jenderal Kwalik, sebab akan
muncul pemimpin baru.
”Orang Papua secara sistematis dan meluas ditindas, dimiskinkan,
dan dibodohkan. Bukti-bukti sangat kasat mata, sangat jelas,” kata Gunawan.
Selain itu, Aryo Wisanggeni Genthong dalam opininya di
Kompas (http://kompas.com)
mengatakan bahwa menuding Jenderal Kwalik memang jalan yang mudah, namun perlu
direnungkan, Jenderal Kwalik bukan penyebab dari konflik berkepanjangan di
Papua.
”Apa mau dikata, menuding Kelly Kwalik memang jalan termudah
menjelaskan karut-marut konflik Papua. Tentu saja penyerangan terhadap warga
sipil, jika memang benar pelakunya Kelly Kwalik, ataupun penyanderaan warga
sipil sebagaimana kasus Mapenduma bukanlah tindakan yang bisa dibenarkan.
Namun, Kelly Kwalik bukan satu-satunya aktor kekerasan berlatar belakang
politik di Papua. Muridan S Widjojo dan kawan-kawan dalam buku mereka, Papua
Road Map, mengingatkan, kekerasan politik di Papua sudah dimulai sejak 1962.
Kala itu Kwalik belum lagi lulus SD. Kelly Kwalik telah berpulang dengan segala
kekurangan dan kelebihannya yang bisa diperdebatkan. Namun, ada persoalan yang
juga penting untuk direnungkan, yaitu kekerasan di Papua yang tak kunjung
berakhir meski daerah operasi militer dicabut sejak 1998.”
Catatan Kaki
[1] Dikutip dari Policy
Paper Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Juli 2006, Tentang Freeport
dan Extraterritorial Obligation.” Policy Paper itu juga memuat bahwa, “Mohammad
Sadly, salah satu anggota kabinet Soeharto menyebutkan, melalui ditandatanganinya
persetujuan dengan Freeport, Jakarta berharap memperoleh dukungan militer dan
ekonomi, serta kebijakan politik garansi dari penguasa ekonomi terbesar dan
terkuat dunia, yaitu Amerika Serikat. Disamping penghargaan politik pragmatis,
kepentingan ekonomi Orde Baru merupakan factor terpenting pemicu pemberian
jalan kepada Freeport untuk beroperasi di Papua Barat, padahal study kelayakan
proyek ini selesai dan disetujui pada bulan Desember 1969.”
[2] Dalam buku “Moses
Kilangin Uru Me Ki” diungkap bahwa masyarakat lembah Waa dan Banti di bawah
pimpinan dua kepala sukunya, Tuarek dan Nigaki, sebenarnya telah melakukan
protes kepada Freeport diawal explorasinya pada tahun 1967 sebab mereka
menyadari bahwa nemangkawi sebagai tempat keramat suku Amungme akan dirusak.
Dan bersamaan dengan itu, uru Me Ki (sang guru besar) Moses Kilangin yang waktu
itu diminta pihak Freeport untuk meyakinkan masyarakat, berpesan kepada John
Curri – wakil pengawas senior Freeport saat itu – dengan mengatakan, “kalau
kalian bikin begini nanti masyarakat bikin begitu. Nanti bermasalah terus
menerus. Lebih baik kalian kerja jujur dan adil saja, sehingga kalian tidak
diganggu terus. Kalau ada hasil, bicara baik-baik dengan masyarakat. Jangan
meremehkan masyarakat. Perhatikan mereka punya pendidikan, kesehatan,
perumahan, perumahan yang baik, hak-hak masyarakat harus dihargai, dan hormati
masyarakat Amungme sebagai penduduk asli sebagai manusia.”
[3] Uskup Jayapura, Herman
Munninghof melaporkan bahwa sepanjang pertengahan tahun 1994 sampai awal 1995
telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ABRI. Dimna terjadi
penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap 5 orang (termasuk Mama
Yospha Alomang (Oktober 1994), dan berulang terhadap 20 orang (Desember
1994). Pada 31 Mei 1995, ABRI menembak kerumunan masyarakat yang sedang
beribadah di kampong Hoea hingga 11 orang tewas, diantaranya ada dua anak
berumur 5 dan 6 tahun. Tidak hanya itu, terjadi juga pembumihangusan
kebun dan rumah-rumah masyarakat.
[4] Dilaporkan oleh Els-Ham
Papua, mengacu pada laporan uskup Herman Munninghof.
[6] Jika eksekusi mati Tuan
Umeki Kwalik oleh Densus 88 dikarenakan beliau dtuduh terlibat kasus Mile 62-63
tahun 2002, justeru sejak awal banyak kalangan meragukan hal tersebut.
Investigasi Els-Ham Papua malah menemukan sejumlah indikasi keterlibatan
anggota tentara, meski tentara mengelak dan Pangdam Papua saat itu balik
mensomasi Els-Ham dengan tuduhan pencemaran nama baik. Namun, dugaan
keterlibatan tentara dalam peristiwa itu dikuatkan oleh S. Eben Kirskey dan
Andreas Harsono lewat hasil penelitian mereka yang disajikan dalam makalah
berjudul Criminal Collaboration? Antonius Wamang and the Militery in Timika. Dimana
berita tentang hasil penelitian tersebut dimuat di harian Kompas, Koran Tempo,
AFP, Chanel Nine, BB Indonesia, Radio Hilversum, harian Belanda AD, Radio
Australia, dan harian The age (Melbourne). “Dalam makalah, kami menyebut lebih
dari selusin nama – tentara, polisi, maupun politisi – yang disebut-sebut dalam
keterangan saksi-saksi mapun dalam pengadilan. Namun Pengadilan Negeri Jakarta
tak memanggil orang-orang itu,” kata Harsono dalam sebuah wawancara. Kesan
Harsono dan Kirskey, kasus ini dengan tergesa-gesa ditutup karena pemerintah
Amerika ingin secepatnya bekerjasama dengan Indonesia dalam bidang militer,
setelah terhenti pasca referendum Timtim 1999. Akhirnya hubungan kedua Negara
kembali cair pasca teroris menghancurkan menara WTC di Amerika, peristiwa Bom
Bali I, dan pasca keputusan penjara seumur hidup terhadap Antonius Wamang.
“Kerjasama militer ini menghabiskan jumlah dolar yang besar, dan bahkan
Indonesia adalah penerimaan bantuan program anti terorisme terbesar dunia,
lebih tinggi dari Yordania, dan Pakistan. Data Pentagon menyebutkan Indonesia
menerima dana sebesar U$$ 6,2 juta, sejak 2002 hingga 2005. Yang terbaru
ditahun 2007, Amerika memberikan bantuan U$$ 18,4 juta. Selang beberapa jam
setelah Wamang diputus hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Pentagon menyebut era baru kerjasama militer kedua Negara dimulai.”
[7] Laporan dengan judul “Tragedi
Berdarah Warga Sipil Di Areal PT. Freeport Indonesia Timika – Papua (Tragedi 11
Juli-29 Oktober 2009”
*Herman Katmo adalah Anggota Tim Informasi, riset, dan Dokumentasi Nasional Papua Solidarity. Tulisan ini disampaikan sebagai pengantar diskusi di Kontras Jakarta, pada 29 Mei 2013. Sebagian besar isi tulisan ini diambil dari tulisan saya, “Freeport Menanbang Mineral, Rakyat Papua Mendulang Kekerasan – Kematian Jenderal Kwalik dan Jalan Panjang Ketidakadilan” yang di terbitan Garda-P, bulletin Wene edisi 2, para laporan utama.
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."