UNTUK DITERBITKAN SEGERA
AHRC-PRL-017-2013.jpg(Hong Kong/Wuppertal, Kamis, 24 Oktober 2013) Asian Human Rights Commission (AHRC) dan Human Rights and Peace for Papua (ICP) meluncurkan sebuah laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Pegunungan Tengah Papua, Indonesia, selama tahun 1977–1978. Laporan ini membahas pelanggaran-pelanggaran atas Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang dilakukan pemerintah Indonesia pada periode tersebut dan ditujukan pada pengungkapan kebenaran. Laporan yang merupakan hasil penelitian selama tiga tahun oleh AHRC ini mengungkapkan kematian lebih dari 4,000 orang Papua, termasuk anak-anak, akibat operasi yang dilakukan oleh tentara Indonesia.
Di antara mereka yang terbunuh terdapat bayi dan anak-anak usia 10 tahun ke bawah dan juga orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun. Metode pembunuhan yang umumnya digunakan oleh tentara Indonesia di antaranya pengeboman dari udara dan penembakan oleh pesawat OV-10 Bronco dari Amerika Serikat.
Selain menjabarkan detail para korban yang terbunuh, laporan ini menarasikan cerita dari korban yang berhasil bertahan yang sempat menyaksikan kebrutalan dan perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh tentara Indonesia pada saat itu. Seorang korban yang diwawancarai, Pendeta Matius Wenda (bukan nama sebenarnya) menceritakan pengalamannya menyaksikan bagaimana tentara Indonesia memaksa orang tua Papua untuk memakan kotoran manusia. Seorang korban lainnya menarasikan bagaimana orang-orang Papua yang ditangkap dipaksa untuk berbaris di tanah lapang sebelum kemudian ditembak tanpa pandang bulu oleh tentara Indonesia. Ia sendiri berhasil bertahan dengan berpura-pura mati.
Kekerasan seksual terhadap perempuan Papua juga dilaporkan kerap terjadi selama periode operasi militer di Pegunungan Tengah selama tahun 1977–1978, sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang korban perempuan: "Dada sebagian perempuan dipotong dan mereka mati. Kami diperkosa, dianiaya dan dibunuh... Sebagian perempuan hanya diperkosa tetapi sebagian lain diperkosa lalu dibunuh'.
AHRC membuat klaim bahwa rangkaian kekerasan yang dideskripisan di dalam laporan ini memenuhi unsur kejahatan genosida sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1984. Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini juga menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi merupakan tanggung jawab dari petinggi di Tentara Nasional Indonesia pada saat itu, termasuk di antaranya mantan presiden Indonesia, Mayor Jendral Soeharto.
Direktur Kebijakan dan Pengembangan Program AHRC, Basil Fernando, menyatakan, "Publikasi laporan ini ditujukan untuk menciptakan kesadaran publik, khususnya di Indonesia, mengenai sejarah kekerasan di Papua".
"Periode panjang otoritarianisme di bawah rezim Soeharto telah secara mendalam mencegah masyarakat Indonesia dari mendiskusikan masa lalu kelamnya terkait Papua," Direktur AHRC tersebut menjelaskan. Ia menyebutkan betapa terbatasnya sumber-sumber di Indonesia yang mengeksaminasi rangkaian pelanggaran HAM di Pegunungan Tengah selama 1977–1978.
"Tanpa adanya pengakuan dari pemerintah dan masyarakat di Indonesia terhadap kekerasan yang disponsori negara di Papua, konflik yang terjadi saat ini hanya akan berlanjut," Basil Fernando menambahkan. Ia melanjutkan, "Perlu ada upaya tulus dari pemerintah untuk memberikan keadilan bagi masyarakat Papua, salah satunya ialah dengan memenuhi hak mereka atas kebenaran."
Salah satu rekomendasi yang diajukan di dalam laporan ini ialah pembentukan suatu komisi kebenaran dan rekonsiliasi lokal di Papua sebagaimana diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus tahun 2001. Laporan ini juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mematuhi kewajiban HAM internasionalnya dengan mencabut pembatasan yang tidak masuk akal dan tidak proporsional terhadap kebebasan berekspresi guna mendorong terciptanya diskusi terbuka mengenai sejarah kekerasan di Papua dan dengan menjamin keselamatan setiap individu yang berbicara mengenai masalah ini.
Laporan ini dapat diunduh dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia di sini.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi indonesia@ahrc.asia.
# # #
Tentang AHRC: Asian Human Rights Commission adalah suatu organisasi non-pemerintah tingkat regional yang memonitor hak asasi manusia(HAM) di Asia, mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran HAM dan mengadvokasi keadilan serta reformasi institusional untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan HAM. Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini didirikan pada tahun 1984.
Tentang ICP: Human Rights and Peace for Papua adalah suatu koalisi organisasi berbasis kepercayaan dan masyarakat sipil internasional yang bekerja untuk mengatasi kondisi serius hak asasi manusia di Papua Barat dan mendukung solusi damai atas konflik yang terjadi di daerah tersebut.
Di antara mereka yang terbunuh terdapat bayi dan anak-anak usia 10 tahun ke bawah dan juga orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun. Metode pembunuhan yang umumnya digunakan oleh tentara Indonesia di antaranya pengeboman dari udara dan penembakan oleh pesawat OV-10 Bronco dari Amerika Serikat.
Selain menjabarkan detail para korban yang terbunuh, laporan ini menarasikan cerita dari korban yang berhasil bertahan yang sempat menyaksikan kebrutalan dan perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh tentara Indonesia pada saat itu. Seorang korban yang diwawancarai, Pendeta Matius Wenda (bukan nama sebenarnya) menceritakan pengalamannya menyaksikan bagaimana tentara Indonesia memaksa orang tua Papua untuk memakan kotoran manusia. Seorang korban lainnya menarasikan bagaimana orang-orang Papua yang ditangkap dipaksa untuk berbaris di tanah lapang sebelum kemudian ditembak tanpa pandang bulu oleh tentara Indonesia. Ia sendiri berhasil bertahan dengan berpura-pura mati.
Kekerasan seksual terhadap perempuan Papua juga dilaporkan kerap terjadi selama periode operasi militer di Pegunungan Tengah selama tahun 1977–1978, sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang korban perempuan: "Dada sebagian perempuan dipotong dan mereka mati. Kami diperkosa, dianiaya dan dibunuh... Sebagian perempuan hanya diperkosa tetapi sebagian lain diperkosa lalu dibunuh'.
AHRC membuat klaim bahwa rangkaian kekerasan yang dideskripisan di dalam laporan ini memenuhi unsur kejahatan genosida sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1984. Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini juga menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi merupakan tanggung jawab dari petinggi di Tentara Nasional Indonesia pada saat itu, termasuk di antaranya mantan presiden Indonesia, Mayor Jendral Soeharto.
Direktur Kebijakan dan Pengembangan Program AHRC, Basil Fernando, menyatakan, "Publikasi laporan ini ditujukan untuk menciptakan kesadaran publik, khususnya di Indonesia, mengenai sejarah kekerasan di Papua".
"Periode panjang otoritarianisme di bawah rezim Soeharto telah secara mendalam mencegah masyarakat Indonesia dari mendiskusikan masa lalu kelamnya terkait Papua," Direktur AHRC tersebut menjelaskan. Ia menyebutkan betapa terbatasnya sumber-sumber di Indonesia yang mengeksaminasi rangkaian pelanggaran HAM di Pegunungan Tengah selama 1977–1978.
"Tanpa adanya pengakuan dari pemerintah dan masyarakat di Indonesia terhadap kekerasan yang disponsori negara di Papua, konflik yang terjadi saat ini hanya akan berlanjut," Basil Fernando menambahkan. Ia melanjutkan, "Perlu ada upaya tulus dari pemerintah untuk memberikan keadilan bagi masyarakat Papua, salah satunya ialah dengan memenuhi hak mereka atas kebenaran."
Salah satu rekomendasi yang diajukan di dalam laporan ini ialah pembentukan suatu komisi kebenaran dan rekonsiliasi lokal di Papua sebagaimana diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus tahun 2001. Laporan ini juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mematuhi kewajiban HAM internasionalnya dengan mencabut pembatasan yang tidak masuk akal dan tidak proporsional terhadap kebebasan berekspresi guna mendorong terciptanya diskusi terbuka mengenai sejarah kekerasan di Papua dan dengan menjamin keselamatan setiap individu yang berbicara mengenai masalah ini.
Laporan ini dapat diunduh dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia di sini.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi indonesia@ahrc.asia.
# # #
Tentang AHRC: Asian Human Rights Commission adalah suatu organisasi non-pemerintah tingkat regional yang memonitor hak asasi manusia(HAM) di Asia, mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran HAM dan mengadvokasi keadilan serta reformasi institusional untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan HAM. Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini didirikan pada tahun 1984.
Tentang ICP: Human Rights and Peace for Papua adalah suatu koalisi organisasi berbasis kepercayaan dan masyarakat sipil internasional yang bekerja untuk mengatasi kondisi serius hak asasi manusia di Papua Barat dan mendukung solusi damai atas konflik yang terjadi di daerah tersebut.
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."