1.
Pengantar
Kapitalisme hampir menyerap dalam segala dialektika
sejarah kehidupan manusia dan manusia sendiri hampir tidak menyadarinya. Salah
satu bidangnya adalah agama. Dalam agama tanpa disadari dan mungkin juga sudah
disadari bahwa kapitalisme sudah dan sedang menyebar. Agama seringkali
dipandang sebagai tempat menunjukkan aksesoris-aksesoris mewah atau sebagai
organisasi yang mencari keuntungan dengan mempromosikan kotbah-kotbah di
layar-layar televisi yang mengumpulkan uang dalam jumlah yang banyak dan banyak
contoh lain yang bisa ditemukan. Tetapi agama sebenarnya merupakan wadah untuk
mewartakan karya keselamatan Allah dan sebagai wadah yang memihak kemanusiaan
yang seringkali mengalami penindasan dari berbagai macam kebijakan yang
menindas.
Dalam tulisan ini saya mencoba menganalisa dan merumuskan
beberapa hal yang sering terjadi di dunia, lebih khusus di Papua bahwa
sebenarnya kapitalisme sudah menyebar dan mempengaruhi kehidupan manusia. Maka
beberapa hal yang diuraikan di bawah ini menjadi salah satu analisis yang bisa
diteliti lebih jauh dan supaya menerapkan kebijakan pastoral ke depan dengan
baik pula.
2.
Kapitalisme
Kapitalisme merupakan
sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam
segala bidang, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang
lainnya.[1]
Ebenstein menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih
dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme
sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek memandang
kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.[2] Menurut Ensiklopedi Kapitalisme didefinisikan sebagai azas
di mana unsur material dari faktor-faktor produksi berada dalam tangan swasta
dan motivasi terpenting dalam berproduksi semata-mata untuk mencapai keuntungan
sebanyak-banyaknya. Sedangkan Karl Marx mendefinisikan kapitalisme sebagai
masyarakat yang memproduksi komoditas.
Dalam perekonomian
kapitalis, setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan
kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya. Semua orang bebas malakukan kompetisi untuk
memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara. Sistem kapitalisme secara historis merupakan perkembangan
dari gerakan individualisme dan liberalisme. Gerakan individualisme martabat
dan kebebasan individu mendapatkan tempat yang utama dalam mengembangkan usaha
ekonomis. Kapitalisme juga merupakan aliran ekonomi dan politik yang memperoleh
bentuknya dan mulai berkembang
di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat
Laut dan Amerika Utara.
Salah seorang
ekonom yang cukup terkenal, yang juga disebut sebagai bapak ekonomi modern,
Adam Smith (1723-1790) melihat situasi ekonomi (yang boleh dikatakan sebagai
ekonomi klasik) saat itu buruk. Dia menilai telah terjadi perbudakan terhadap
kaum buruh dan keuntungan bagi para kapitalis. Maka, ia menggagas pandangan
tentang perdagangan bebas. Ia berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk
memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar
kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan
negara.[3]
Awal abad 20
kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak
diperkirakan sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung
menjadi birokratis uniform dan
terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu kapitalis
memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui
kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan
jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan
meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan
ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi
ini dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai
perubahan ekonomi dan sosial.
3. Agama
Dalam Kapitalisme
3.1.
Kemerosotan Agama Dalam Kapitalisme
Menurut
Marx dan Weber bahwa sekulasisasi membawa banyak akibat terhadap kemerosotan
kepercayaan keagamaan dengan majunya kapitalisme. Pada gilirannya agama tidak menjadi relevan
lagi, dengan kedewasaan produksi industri kapitalis. Hal yang tampak dalam
dominasi pasaran di antara hubungan manusia di dalam usaha mengejar keuntungan
sebagai suatu tujuan, yang menjadi perlambang dari keterasingan diri di bawah
kapitalisme. Oleh karena itu, uang menurunkan semua nilai manusia menjadi nilai
kuantitatif dari pertukaran. Dengan demikian, kapitalisme mempunyai suatu sifat
menguniversalkan, yang membongkar keistimewaan-keistimewaan dari budaya-budaya
tradisional dan melahirkan ‘moral uang.’ Kapitalisme menghancurkan pemuasan
hati atau diri yang terkungkung dalam batas-batas yang sempit. Kapitalisme
berlaku seperti seorang petapa dalam makna bahwa tindakan-tindakan para
kapitalis di dasarkan atas penolakan diri dan di atas penanaman modal dari
keuntungan-keuntungan yang berlebihan. Oleh karenanya, ekonomi politik mengenai
kekayaan, pada saat yang sama merupakan penolakan diri terhadap hidup yang
serba kekurangan. Idealnya orang menjadi kikir/pelit. Mengejar kekayaan
merupakan suatu fenomena yang paling dasar dan terdapat di dalam kapitalisme.
Marx mengemukakan bahwa nafsu terhadap kekayaan merupakan suatu perkembangan
yang menonjol. Dengan kata lain, nafsu itu adalah sesuatu yang lain daripada
kahausan naluri terhadap benda-benda khusus, sebagai pakaian, senjata, benda-benda
perhiasan, wanita, anggur dan sebagainya. Selera untuk memiliki sudah ada, walaupun tanpa uang.
Kehausan terhadap memperkaya diri merupakan produk dari suatu perkembangan
sosial tertentu, kehausan demikian tidak alamiah akan tetapi dialami secara historis.[4]
Pandangan ini memperlihatkan
bahwa kapitalisme pasca industrial melahirkan batasan yang kurang jelas antara
sakral dan yang profan. Idealnya, agama memiliki dimensi sakral, namun
kapitalisme membuat sakralitas agama menjadi profan, dalam sistem pasar yang
kuat. Kapitalisme telah mempengaruhi paradigma dan cara beragama manusia saat
ini. Di layar televisi kita sering menyaksikan kotbah-kotbah. Apakah ini salah? Tentu masalahnya bukan
salah atau tidaknya berkotbah menggunakan media televisi. Akan tetapi, bahwa di
dalam iklim kapitalisme, agama bukanlah soal apa yang seharusnya ia sampaikan
kepada masyarakat. Sebaliknya, dalam iklim kapitalisme yang berorientasi pada
pasar dan konsumerisme itu, agama pun bisa dijadikan “alat” atau bisa
dikatakan, agama dapat dimanipulasi untuk kepentingan kapital.[5] Melalui agama, para kapitalis bisa membangun paradigma
kuat dalam mempengaruhi animo daya beli masyarakat. Dengan ini agama bisa
dipandang, bukan lagi sebagai wujud kesucian dan suatu bentuk pencerahan utama,
namun bisa berubah menjadi hal yang lumrah atau profan. Hal ini dilihat bahwa
dalam mempengaruhi animo daya beli masyarakat melalui isu agama, orang-orang
dengan mudahnya terpengaruh. Misalnya dalam berpolitik, perdagangan dan lain
sebagainya, bahwa kalau didasarkan pada agama pastilah orang mudah terpengaruh.
Kepercayaan
orang kepada Tuhan semakin tidak menentu, karena pada saat yang sama
orang-orang juga mengabdi kepada
pasar. Hal ini bisa dibuktikan pada saat
hari raya besar agama. Di mall-mall atau took-toko besar mereka mulai
berlomba-lomba dengan menunjukkan dirinya sebagai mall yang paling religius.
Berbagai macam mall mendadak menjadi sebuah tempat yang paling Kristiani atau
Islami. Seluruh tokoh dipajang ala agamawi, lagu-lagu religious mulai tersebar.
Ini sebenarnya suatu penipuan terhadap umat dan sebagai yang beragama. Hal yang
religius menjadi profan dalam pemasaran.
Tidak
hanya di Papua atau Indonesia, di tempat lain di dunia ini saat mendekati hari
besar agama terjadi juga hal yang serupa. Misalnya, perayaan Natal di Jepang,
sangat berbeda bahwa saat Natal seorang gadis membelikan hadiah bagi lelaki
dambaannya. Tak ada peringatan-peringatan yang bersinergi dengan hari suci
kelahiran Yesus Kristus. Eksistensi Natal adalah sebagai sebuah musim untuk
berbelanja, terutama pembelian cokelat bagi yang terkasih. Dua bulan kemudian,
akan hadir juga musim dimana pria berbelanja hadiah bagi gadis pujaannya. Tapi
pada intinya, di mana-mana saat hari besar keagamaan dan Hari Valentine
semuanya sama, musimnya belanja. Di
Indonesia, berbelanja saat mendekati hari raya justru jauh lebih serius
daripada yang terjadi di Jepang.[6]
Dalam hal
ini Marx menilai bahwa terjadi kemunduran agama yang membuat implementasi dari
kepercayaan-kepercayaan masyarakat menjadi “khayalan.” Dalam arti bahwa
penyempurnaan hidup ke depan di surga, diganti dengan pemuasan hidup manusia di
dunia. agama berfungsi untuk mengajarkan keselamatan kekal, tetapi orde
kapitalisme membuat manusia terasing dari ajaran kepercayaan.
3.2. Agama
Sebagai Alienasi
Dalam
bukunya “masyarakat yang sehat”, Erich Formm dengan panjang lebar menjelaskan
dampak dari perkembangan kapitalis. Disebutkan bahwa sentral kapitalisme adalah
alienasi. Alienasi adalah suatu pengalaman hidup di mana seseorang mengalami
dirinya sebagai sosok terasing, boleh dikatakan ia merasa asing dengan dirinya
sendiri. Alienasi menunjukkan arti orang yang tidak sehat. Alienasi dalam
terminologi Hegel dan Marx tidak ditujukkan pada suatu pernyataan diri, yang
memungkinkan seseorang untuk tidak bertindak dengan akal budinya dalam
soal-soal praktis, namun merupakan satu dari cacat terpola secara sosial dan
yang paling keras. Menurut sistim pikiran Marx, alienasi dijelaskan sebagai
kondisi manusia di mana ‘aktivitasnya sendiri baginya menjadi suatu kekuatan
asing, yang mendesak dan melawan dirinya, tidak dapat diatur lagi oleh
dirinya.’[7]
Alienasi dapat
didefinisikan sebagai proses yang membatasi kesadaran manusia untuk memahami
realitas hidup yang sesungguhnya. Mengenai keterasingan diri atau agama menurut
Marx, merupakan penenang saraf sesaat bagi rakyat tertindas, untuk mengalihkan
rasa sakit ketika mendapati dirinya dieksploitasi, direndahkan dan tidak
memiliki apa-apa. Akhirnya, agama menjadi jalan pintas yang tepat untuk
bersembunyi dari kekalahan atau sebagai sebuah bentuk pelarian sesaat dari
kekalahan. Hal ini dapat disimpulkan dalam dua pokok penilaian dari Marx. Pertama, agama sebagai tindakan protes
yang ilusif, yang menginginkan harapan-harapan palsu dan yang mengajak untuk
melupakan penindasan dalam kehidupan. Kedua,
agama sebagai ideologi, sebagai bangunan suprastruktur, yang berusaha
mendistorsi dan menutupi realitas sosio-ekonomi dalam kehidupan nyata.[8]
Kedua pandangan
ini mau mengatakan bahwa agama sebagaimana layaknya lembaga-lembaga sosial
lain, keberadaan dan coraknya sangat tergantung pada realitas material dan
ekonomi dari suatu masyarakat tertentu. Agama tidak memiliki sejarah yang
independen, melainkan kreasi dari kekuatan-kekuatan produktif. Dunia religius
hanyalah refleks dari dunia nyata. Agama hanya dapat dipahami dalam kaitannya
dengan sistem sosial dan struktur ekonomi dari suatu masyarakat. Bahkan, secara
ekstrem, bisa dikatakan bahwa agama hanya tergantung penuh pada sistem sosial
dan ekonomi masyarakat, sehingga banyak doktrin-doktrin agama yang samasekali
tidak relevan di masa kini. Walaupun demikian sautu aspek yang mesti didalami
oleh agama adalah bagaimana memfungsikan agama sebagai instrumen dalam
perjuangan kelas buruh dan kelas tertindas yang lain.
4. Kebijakan
Pastoral Dalam Menanggapi Bahaya Kapitalisme di Papua
Dalam realitas
kapitalisme suatu bahaya yang bisa menimpa agama adalah bila tatanan masyarakat
sosial terwujud atau ketika masyarakat berkelimpahan yang adil sejahtera, dalam
arti sesungguhnya bahwa sosialime terwujud, maka agama sebagai tempat
persembunyian rakyat tertindas karena kapitalisme akan hilang karena tidak
dibutuhkan lagi. Bahaya seperti ini, mengajak agama mesti mengambil langkah
demi terciptanya masyarakat yang memiliki kesadaran bahwa agama bukan sebagai
tempat persembunyian para kaum tertindas, melainkan sebagai tempat mengangkat
martabat manusia dalam terang Kristus. Dalam konteks itu Kristus mesti
dijelaskan sebagai Yang Maha Kuasa yang menguasai segala sesuatu yang ada di
dunia. Kristus bukan sebagai pemuas semata, melainkan sebagai penyelamat yang
menyelamatkan manusia di sini, kini dan akan datang. Oleh karena itu, hal yang
utama demi mengangkat harkat dan martabat manusia Gereja mesti mengambil sikap
sebagai pembela kemanusiaan demi terciptanya situasi keselamatan kini demi
mencapai keselamatan eskatologis. Maka Gereja dalam pewartaannya juga mesti hati-hati,
agar tidak terkesan bahwa gereja terlibat dalam kapitalisme atau pasaran yang
mencari untung, melainkan mendahulukan prinsip-prinsip etika kehidupan, yakni
berpihak pada kehidupan, kesejahteraan umum, subsidiaritas, solidaritas, hormat
terhadap hak asasi manusia, dan penolakan terhadap kekerasan.[9]
Dalam ensiklik Quadragesimo
Anno sangat berkaitan dengan upah (QA 74). Upah yang terlalu ditekan atau
dinaikan demi keuntungan privat semata seraya mengabaikan kesejahteraan bersama
merupakan sesuatu yang bertentangan dengan keadilan sosial. Makna keadilan sosial telah menjadi pokok
perhatian keterlibatan social gereja sejak awal. Hal ini berangkat dari
ensiklik Rerum Novarum tentang fakta
pembedaan-pembedaan sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Pembedaan-pembedaan
ini memunculkan ketidaksamaan derajat manusia, apalagi dengan muncunya proses
industrialisasi, masyarakat terbbagi dalam kelas-kelas.
Tema keadilan sosial ini semakin menonjol
terutama sejak Konsili Vatikan II. Konstitusi pastoral Gaudium et Spes mengidentifikasikan banyaknya harta kekayaan yang
tidak tersedia bagi kaum lemah sebagai akibat dari ketidakadilan atau pembagian
yang tidak merata. [10]
Di Papua misalnya, dengan adanya UU Otonomi Khusu tahun
2001 yang dibarengi dengan kucuran dana yang sangat banyak, menyuburkan
ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat. Otonomi khusus menjadi penyubur
ketidakadilan social yang mendalam, karena fakta menunjukkan bahwa masyarakat
yang lemah tidak mendapatkan hak yang layak. Pada saat yang sama sebenarnya
pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan mulai menunjukkan sikap apatis atau
tidak peduli terhadap rakyat. Hal inilah yang harus disuarakan Gereja sebagai sikap
keberpihakan kepada kaum lemah, karena sikap seperti demikian telah di
tunjukkan Yesus dalam karyanya di masa silam. Maka Gereja mesti menjadi
penyambung lidah rakyat terbungkam, agar diwujudkan keadilan social bagi
rakyat. Demi keberpihakan kepada rakyat kiranya sangat jelas dalam surat
apostolic Evangeliui Nuntiandi, Paus
Paulus VI mengambil alih gagasan dasaar Iustitia in Mundo, yaitu bahwa kasih
Kristus itu tidak dapat diwartakan tanpa keprihatinan dan keterlibatan kedalam
masalah keadilan social, kebebasan pembangunan dan perdamaian dunia ini (EN
31).
Di samping itu, ensiklik Populorium Progressio dengan tegas menyatakan bahwa berjuang
melawan kemiskinan dan ketidakadilan itu berarti mengupayakan kondisi kehidupan
yang lebih baik, dan sekaligus memajukan spiritualitas dan kemanusiaan umat
manusia, sehingga kesejahteraan bersama umat manusia dapat bertumbuh dengan
baik. [11]
5. Penutup
Agama sebenarnya meneruskan misi pewartaan Kerajaan Allah
di tengan dunia, sehingga agama mesti mengambil posisi pewartaan yang positif.[12]
Agama dalam kapitalisme bukan berarti agama bebas mengumpukan kekayaan
besar-besaran dan mengabaikan misi penyelamatan terhadap kaum miskin dan
tertindas, tetapi agama harus menjadi penyelamat. Karena kalau agama mengambil
bagian dalam kapitalisme, maka terkesan agama tidak beda dengan organisasi
politik atau organisasi lain. Karena itu, agama berperan demi keselamatan umat
manusia, supaya tidak terkesan agama sebagai alienasi. Akhirnya, agama dalam
kapitalisme harus lebih berperan sebagai penyelamat dari pada sebagai alienasi.
Daftar Pustaka
Formm,
Erich. Masyarakat Yang Sehat, ter.,
T.B. Murtianto, Jakarta: Obor, 1995.
Giddens,
Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial
Modern: Suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, terj., Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI
Press, 1986.
http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/29/beragama-di-tengah-kepentingan-kapitalisme/ (hari kamis, tggl 11 Mei 2012)
Koesters,
Paul-Heinz. Tokoh-tokoh ekonomi Yang
Mengubah Dunia, terj., T.S. Effendi, Jakarta: Gramedia, 1987
Soetoprawiro,
Koerniatmanto. Bukan Kapitalisme, Bukan
Sosialisme: Memahami Keterlibatan Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Suseno, Franz Magnis SJ. Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat
Majemuk, Jakarta: Obor, 2004.
Weber,
Max. Etika Protestan dan Spirit
Kapitalisme, terj., TW. Utomo, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
[1]Bdk.
Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan
Kapitalisme, Bukan Sosialisme: Memahami Keterlibatan Gereja, (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), hal. 95-96.
[3]Paul-Heinz
Koesters, Tokoh-tokoh ekonomi Yang
Mengubah Dunia, terj., T.S. Effendi, (Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 7-15 .
[4]Anthony
Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial
Modern: Suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, terj., Soeheba Kramadibrata, (Jakarta:
UI Press, 1986), hal.264.
[5]Max
Weber, Etika Protestan dan Spirit
Kapitalisme, terj., TW. Utomo, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hal. 48-49
[6]http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/29/beragama-di-tengah-kepentingan-kapitalisme/ (hari kamis, tggl 11 Mei 2012)
[7]Erich
Formm, Masyarakat Yang Sehat, ter., T.B.
Murtianto, (Jakarta: Obor, 1995), hal. 131-132.
[8]Bdk.
Anthony Giddens, Op.Cit., hal.
252-262.
[9]Bdk. Franz Magnis-Suseno, SJ.
Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Obor, 2004),
hal-114-116.
[10]Koerniatmanto
Soetoprawiro, Op.Cit., hal. 134-135.
[12]Pewartaan
yang positif dimaksudkan bahwa agama atau Gereja mesti menjadikan Kerajaan
Allah sebagai pewartaan yang utama dan tidak menjadi pengumpul harta benda yang
berlebihan atau mencari keuntungan yang berlebihan, tanpa mempertimbangkan misi
utama yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah mesti di tempatkan di awal pewartaan
agar tidak terpengaruh dengan kerajaan dunia yang diliputi penindasan dan
penganiayaan terhadap kaum lemah dan miskin. Di sini agama atau Gereja mesti
memahami bahwa Allah hadir dalam diri Yesus bukan untuk menindas dan
mengumpulkan harta kekayaan melainkan untuk menyelamatkan.
Tidak dapat disangkal bahwa
Agama atau Gereja ada di tengah dunia yang sangat beda dengan dunia Yesus
dahulu, maka itu harta benda perlu demi pengembangan misi penyelamatan manusia.
Namun pada posisi ini Gereja mesti hati-hati di dalamnya. Dalam arti bahwa
Gereja mesti menyadari bahwa harta penting, tetapi bukan lebih penting
dibandingkan mewartakan misi keselamatan. Karena itu, harus dipahami bahwa
Gereja bukan organisasi yang mencari keuntungan besar-besaran tanpa memihak
kaum lemah dan miskin, melainkan Gereja ada untuk memihak dan menyelamatkan.
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."