Katoliknews.com – Puluhan imam pribumi Papua yang tersebar di lima keuskupan di wilayah ujung timur itu mendesak agar rasisme terhadap warga Papua – yang salah satu bentuknya lewat proses hukum yang tidak adil – dihentikan.
Dalam pernyataan yang ditandatangani 57 imam dan dipaparkan dalam konferensi pers di Rumah Imam Projo-Condios, Jayapura, Senin, 8 Juni 2020, mereka menyatakan, hal itu mereka sampaikan dengan menimbah inspirasi dari seruan yang disampaikan Paus Fransiskus baru-baru ini terakit kasus rasisme di Amerika Serikat (AS).
“Kami para pastor Katolik pribumi Papua tergerak menimba inspirasi dari pimpinan tertinggi Gereja Katolik ini untuk menyuarakan kasus rasisme di Papua,” kata mereka dalam pernyataan yang diterima Katoliknews.com, Selasa, 9 Juni.
Setidaknya dua kali Paus Fransiskus menyatakan kecaman atas rasisme di AS, yang kembali mencuat menyusul kematian seorang warga berkulit hitam, George Floyd dua pekan lalu. Ia meninggal di tahanan polisi setelah sebelumnya seorang petugas keamanan berkulit putih menindih lehernya selama sekitar sembilan menit. Kasus ini telah menyita perhatian dunia, di mana aksi unjuk rasa terjadi di berbagai belahan dunia menuntut diakhirinya supremasi warga kulit pulih.
Para imam pribumi Papua, baik imam diosesan, maupun dari berbagai Kongregasi, seperti OSA, MSC dan OFM menyatakan rasisme juga sejatinya terjadi di Indonesia terhadap orang Papua.
Tuntutan yang Tidak Adil
Salah satu bentuk rasisme itu, menurut mereka, adalah yang terjadi dalam kasus ujaran rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur tahun lalu, yang kemudian memicu aksi protes sporadis di sejumlah kota di Papua.
Rasisme itu, kata mereka, kembali terjadi lewat tuntutan belasan tahun penjara terhadap tujuh aktivis Papua yang ikut dalam aksi unjuk rasa merespons peristiwa di Surabaya itu, yakni Bucthar Tabuni dan rekan-rekannya.
Dikenakan tuduhan makar dan sedang menjalani proses hukum di Balikpapan, Kalimantan Timur, Tabuni dituntut 17 tahun, Agus Kossay dan Stefanus Itlay 15 tahun; Alexander Gobay dan Ferry Kombo 10 tahun; serta Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok 5 tahun.
Para imam menyatakan, “kami menilai adanya ketidakadilan” dalam tuntutan itu, di mana mereka menyebut Tabuni dkk adalah “korban rasisme.”
“Mereka adalah korban rasisme dan bukan pelaku rasisme,” kata mereka.
“Mereka ditangkap dalam situasi demo nasional Papua, demi harga diri manusia Papua yang direndahkan sama dengan monyet,” kata para imam.
Mereka pun membandingkan vonis terhadap pelaku ujaran rasis di Surabaya yang hanya beberapa bulan penjara.
Para imam pun mengklaim, aksi unjuk rasa yang dilakukan di Papua sejatinya berlangsung damai, namun kemudian ada orang tak dikenal (OTK) yang mengalihkannya menjadi anarkis.
“Siapa OTK itu yang sampai hari ini belum ditangkap?” kata mereka.
Karena itu, mereka meminta agar tujuh aktivis Papua itu dibebaskan, yang mereka anggap sebagai “korban kriminalisasi pasal makar.”
“Sebab mereka bukan pelaku makar dan rasisme. Mereka adalah korban dari kedua (hal) itu,” kata mereka.
“Dan kami meminta kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia, segera memutuskan mata rantai praktek kriminalisasi pasal makar.”
Ketidakadilan dalam Bentuk Lain
Dalam pernyataan itu, para imam juga menyebut sejumlah ketidakadilan lain yang dialami warga Papua, yang mereka sebut sebagai “masalah mendasar” yang sedang terjadi di bumi Cenderawasih itu.
Sejumlah kasus itu, jelas mereka, termasuk pembunuhan di luar proses hukum, penangkapan sewenang-wenang, tidak adanya ruang kebebasan menyatakan pendapat dan berkumpul dan terabaikannya hak para tahanan politik.
Mereka juga menyebut masalah kebebasan pers, pemblokiran internet di Papua pada tahun lalu serta kriminalisasi aktivis non-Papua yang menyuarakan masalah Papua.
Selain itu, ada masalah terkait pengungsi asal Nduga, Papua yang belum tertangani dengan baik, di mana mereka meninggalkan kampung halaman menyusul adanya operasi militer.
“Selama ini kami selalu melihat, mendengar dan mengikuti sejumlah masalah itu. Namun, kali ini kami harus bersuara,” kata mereka.
Mereka juga melihat masih adanya anggapan dalam diri orang Indonesia – tentu tidak semua – yang melihat orang asli Papua sebagai “miskin, bodoh, terbelakang, belum maju, dan sejenisnya.”
Mereka menyatakan, jika anggapan demikian terus hidup, maka “sampai kapanpun dan dimanapun, dalam dunia kerja pemerintahan maupun swasta, orang asli Papua tidak akan diperhitungkan nilainya sebagai manusia.”
Dalam pernyataan itu, mereka pun menyebut menolak dengan tegas semua kata, sikap dan perlakuan yang diskriminatif terhadap orang asli Papua di atas tanah leluhur mereka di Papua dan di wilayah Indonesia lainnya.
Mereka menambahkan, “kami yang ada di tanah Papua tidak bodoh.”
“Maka kami mohon kepada pemerintah dan penegah hukum untuk singkirkan pikiran atau perasaan yang menganggap remeh setiap orang asli Papua,” kata mereka.
Perlunya Dialog
Para imam pun meminta agar konflik di Papua dapat diselesaikan dan orang asli Papua dapat hidup damai sejahtera di atas tanah leluhur mereka, seperti suku bangsa lain di Indonesia dan dunia.
Agar warga Papua tidak mudah dijerat pasal makar, kata mereka, ”sangat baik dibuka ruang dialog untuk membahas akar masalah” di Papua.
“Karena belum ada ruang dialog, maka lahirlah dua ungkapan ini: NKRI harga mati dan Papua merdeka harga mati,” kata mereka.
Mereka menyatakan “dialog tidak membunuh dan tidak menyakitkan.”
“Sebaliknya, bila kita gunakan cara-cara kekerasan, selalu akan meninggalkan luka lahir dan batin. Apapun alasannya, membunuh adalah salah, dosa.”
Dalam dialog itu, jelas mereka, ada empat hal yang mesti dibicarakan, yang sebelumnya pernah disampaikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jaringan Damai Papua.
Keempatnya adalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; kekerasan dan pelanggaran HAM sejak 1963 sampai saat ini; diskriminasi dan marginalisasi orang Papua di tanah sendiri; dan kegagalan pembangunaan di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat.
“Secara permanen, pendekatan dialog harus menjadi kebijakan baru untuk membangun Papua yang stabil dan sejahtera, bukan kekerasan dan penambahan pasukan,” kata para imam.
Untuk itu, tambah mereka, perlu dibentuk Tim Independen dari Jakarta dan Papua.
“Merekalah yang melakukan tahapan-tahapan persiapan dialog.”
Dalam pernyataan itu, mereka juga mengajak semua orang Kristen untuk bersama-sama berjuang dan bersuara demi tegaknya keadilan.
“Setiap orang Kristen (yang) diam saja dan tidak berbuat apa-apa menghadapi tragedi kemanusian dan kerusakan yang dahsyat di Tanah Papua, itu berarti ia mengingkari Injil,” kata mereka.
Posting Komentar
"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."