Melampaui Penderitaan Kolektif Di Papua

OLEH: Honaratus Pigai (*


Sulitkah mencari secercah harapan di tengah kecurigaan-kecurigaan dialog damai antara Papua dan Indonesia? Orang-orang yang dipilih untuk memperjuangkan kepentingan rakyat justru menggunakan sikap arogansi untuk mempertahankan kekerasan. Pemerintah yang dipilih rakyat melalui pemilu untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan berwibawa juga rontok oleh skandal pemberlakuan kebijakan yang tidak diharapkan rakyat. Semua situasi ini membuat kita sulit untuk tetap berharap agar ada kedamaian di tanah Papua.

Berita di media masa terus menerus membuat kita tersentak. Membaca dan merenungi setiap berita yang dimuat, tidak lain dari pada penderitaan. Semakin banyak penderitaan rakyat yang disampaikan. Seolah kehidupan rakyat Papua diliputi penderitaan. Penderitaan yang dialami entah penderitaan mental maupun fisik. Pintunya melalui stikmatisasi terhadap orang asli Papua dan juga melalui sikap-sikap arogansi dengan tindakan-tindakan pembunuhan misteri terhadap rakyat. situasi seperti demikian tidak dapat dielakkan, karena memang realitasnya tidak menunjukkan sikap persahabatan.

Di setiap halaman media masa (online, elektronik maupun media cetak) tak jarang yang tertulis adalah penderitaan rakyat. Tak henti-hentinya penderitaan itu terjadi dari masa ke masa. Seperti tidak ada lagi jalan keluar yang tepat demi menyelesaikan persoalan rakyat itu. Pendertiaan itu seperti air yang terus mengalir tanpa dibendung. Pihak-pihak yang berwenang juga mungkin hampir tidak mampu menyelesaikannya, karena kita semua terjebak menjadi oknum-oknum yang menjadi sumber konflik penderitaan.

Pertanyaan yang sedikit menggigit kita untuk harus peduli dan mencari solusi adalah, Apakah ada yang tak mengerti dan tak peduli atas realitas rakyat tersebut? Apakah penderitaan itu sengaja dipelihara? Apakah penderitaan itu tidak mampu diselesaikan? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini tak mudah dijawab, karena kebijakan-kebijakan yang dijadikan sebagai solusi (Otsus, UP4B dan Otsus Plus), belum mampu menjawab kemauan rakyat.

Penderitaan Kolektif
Seperti yang pernah ditulis oleh Budi Hardiman (2005), trauma sosial adalah bekas dari suatu peristiwa negatif yang tergores di dalam ingatan sebuah bangsa. Trauma adalah bekas dari peristiwa negatif yang terus mengulang dirinya sendiri, walaupun di dalam realitas, peristiwa itu sudah lama berlalu. Dampak dari trauma sosial berskala nasional, dan bahkan berskala universal, yakni menggores rasa kemanusiaan kita sebagai insan ilahi. Efek dari trauma juga terasa dalam jangka waktu yang lama, jika tidak ada upaya-upaya konkret untuk melampauinya.
Hal Pertama, Manusia Papua masih dalam situasi trauma masa lalu, sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa berdarah yang menelan korban. Kita lihat contohnya, pada Desember 2011 yang telah berlalu, orang Papua diperhadapkan dengan konflik sosial yang tak kalah besarnya (Eduda-Paniai, Puncak Jaya, PT. Freport Timika, pada Juni-Juli 2012, peristiwa penembakan liar yang tidak dipastikan pelakunya atau dalam media sering disebut sebagai “OTK” (orang tidak kenal), dan ada rentetan peristiwa yang menelan korban nyawa, entah setiap hari maupun setiap jangka waktu tertentu yang berlaku sejak 1961 hingga 2013.
Masyarakat menjadi tidak percaya pada pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang para pejabat publik yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri. Pemerintah sepertinya tidak memperhatikan keamanan rakyatnya dengan serangan Militer, tanpa membedakan siapa masyarakat. Maka, yang terjadi di dalam proses tersebut, banyak korban yang berjatuhan, baik korban manusia, alam, dan korban sosial. Pemerintah harus mengambil langkah yang bijak demi menanggapi situasi demikian di tahun baru. Karena terkesan  pemerintah buta nurani melihat masalah rakyat sebenarnya?
Hal Kedua, selama bertahun-tahun kita telah menyaksikan sendiri orang-orang di Papua dibunuh, disiksa, dipukul, diteror dan diintimidasi karena keyakinan sosial-politik mereka. Selama periode begitu lama (sekitar 50-an tahun terakhir), orang asli Papua dibunuh atau diperlakukan secara keliru, manakala mereka memprotes perlakuan atau kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan harapan. Berkali-kali rakyat mengkritisi kebijakan pemerintahan negara, tetapi berkali-kali pula pemerintah tidak menganggapinya secara serius. Barangkali protes itu dipandang sebagai tindakan ketidakpuasan rakyat, sehingga dibiarkan begitu saja berlalu. Juga barangkali sikap kritis itu dipandang sebagai hal yang lumrah, sehingga tidak diseriusi.

Pemerintah pusat didukung dengan aparat keamanan mengklaim diri bahwa mereka tahu apa yang terbaik untuk rakyat Papua, dan mengklaim bahwa mereka punya hak untuk memaksa kehendak hokum mereka atas orang lain. Hal semacam ini mengarah pada potensi konflik yang merugikan banyak orang. Pemerintah lupa untuk mendengarkan harapan rakyatnya, tetapi malah menerapkan kebijakan yang tidak berlaku bagi masyakat. Kebijakan yang berlaku di luar harapan rakyat, berpotensi konflik dan terus melahirkan penderitaan di atas penderitaan bagi rakyat.

Kadang-kala dan biasanya aksi protes atau kritis rakyat itu ditanggapi dengan penerjunan atau tindakan melibatkan aparat militer. Pemerintahan Negara mengharapkan militer Indonesia bisa membawa keamanan terhadap rakyat. Tetapi sebenarnya sikap melibatkan militer demi keamanan ini meyajikan beberapa aspek kotor di dalamnya: Pertama, Melibatkan militer berarti membungkam demokrasi rakyat yang mengkritisi pemerintah yang sendang bermain kotor. Artinya, melarang rakyat untuk memprotes ketidakadilan dan ketidakbenaran yang siding dipraktekkan dalam system pemerintahan Indonesia. Dengan label militer sebagai “keamanan” mengamankan aksi-aksi protes rakyat. Jadi kalau tidak ada aksi protes dari rakyat terhadap pemerintah, maka orang piker situasi sudah aman dan damai. Kedua, melibatkan militer berarti sama dengan melindungi pemerintah agar dengan leluasa bermain kotor, yang akan berujung pada pembungkaman sikap keadilan dan kebenaran. Ketiga, melibatkan militer berarti militer dengan senang menjalankan tugasnya, tetapi dengan tujuan terselubung yakni bisnis.

Dengan kata lain, melibatkan militer agar rakyat diam dan tidak melakukan aksi-aksi kritis terhadap pemerintah. Kalau melibatkan militer pemerintah merasa keamanan akan tercipta. Tetapi keamanan itu hanya terkesan melindungi pemerintah Negara yang sedang main kotor dalam sistem pemerintahan, yang seringkali bermuara mengorbankan rakyat.

Pemberlakuan kebijakan semacam itu menyebarkan aroma “ketiadaan harapan”, apalagi dibarengi dengan kinerja yang jelek dari institusi-institusi publik yang menopang kehidupan bersama. Nyaris semua proses sosial, pembuatan kebijakan dan perwujudan kebijakan meninggalkan sikap ketiadaan harapan dan sikap pesimisme. Sikap pesimisme terlahir oleh kebijakan yang tidak memihak. Terkesan pemerintah masih pesimis untuk mendengar harapan rakyat.

Hampir setiap persoalan, kita kehilangan fokus tentang akar masalah sebenarnya. Yang cenderung terjadi adalah kita melakukan analisis panjang dan mendalam, tetapi tidak tepat mengena pada akar permasalahan. Misalnya, pemberlakukan kebijakan oleh pemerintah kepada rakyat Papua (Otsus, UP4B dan Otsus Plus) belum mampu menyelesaikan akar persoalan yang ada. Malah menambah daftar penderitaan rakyat, karena memang kebijakan itu tidak lahir dari akar persoalan yang ada dalam kehidupan rakyat atau tidak lahir dari kemauan rakyat.

Kalau kebijakan-kebijakan pemerintah tidak lahir dari hasil kemauan rakyat, maka tidak mungkin akan membawa kedamaian dan keadilan bagi rakyat. Karena rakyat mau yang lain, tetapi pemerintah memberikan yang lain. Artinya, pemerintah memberlakukan kebijakan tidak sesuai keinginan rakyat. Situasi seperti demikian hanya akan menambah penderitaan kolektif rakyat. Maka pantas kalau rakyat menolak kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Kebijakan yang tidak menjawab harapan rakyat, menandakan bahwa adanya kepincangan dan kegagalan pemerintah dalam memberlakukan kebijakannya. Kepincangan-kepincangan kebijakan akibat ketidakpedulian pemerintah terhadap rakyat. Ketidakpedulian ini juga dibarengi dengan proses pembiaran pemerintah terhadap rakyat. Tindakan pembiaran terhadap rakyat. Entah rakyat mengalami persoalan atau penderitaan, seperti tidak diperhatiakan secara baik.

Pemerintahan yang adil dan demokratis, seharusnya mendengarkan harapan rakyat. Harapan rakyat mesti dijawab dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat. Namun sampai detik ini di Papua kebijakan itu masih di luar jalur dan belum mampu menjawab kemauan rakyat.  

Semua situasi ini tentu melahirkan rasa pesimis dan tak berdaya. Tak heran, banyak pemerintah kita sibuk meniti karir, atau memenuhi kepentingan mikronya semata. Tanpa partisipasi untuk menciptakan keadilan serta kedamaian bagi semua orang di Papua.

Rasa pesimis Pemerintah terhadap rakyat ini mendorong terciptanya penderitaan kolektif. Di dalam masyarakat yang menderita kecemasan kolektif, orang hidup terus dalam rasa takut. Hubungan-hubungan sosial yang membentuk sebuah masyarakat yang sehat pun retak oleh rasa curiga dan prasangka. Di dalam masyarakat semacam itu, kita hidup bagaikan di neraka.

Ada empat hal yang melahirkan penderitaan kolektif bagi rakyat, yang mesti diseriusi oleh pemerintah:

Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Masalah ini orang Papua masih belum merasa bahwa proses integrasi ke dalam Indonesia itu benar. Mereka menganggap adanya kecacatan hukum dalam proses integrasi tersebut. Maka pesoalan ini mesti dibahas dan diselesaikan.

Kedua, masalah operasi militer yang terjadi karena konflik tersebut di atas yang tak terselesaikan. Operasi militer yang berlangsung sejak tahun 1965 hingga kini, membuat masyarakat Papua memiliki catatan panjang mengenai kekerasan negara dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hal ini membuat masyarakat Papua semakin tidak percaya terhadap Indonesia. Luka kolektif itu terpendam lama sehingga pemerintah mesti memberhentikan militerisme di Papua dan menyelesaikan persoalan Papua dengan damai.

Ketiga, masalah stigma negatif dan Perusahan-Peruhan yang beroperasi di Papua hanya memarginalisasikan orang Papua. Stigmatisasi orang Papua bodoh, monyet, rasis, kotor, hitam dan sebagainya mesti dihapuskan dan dibuat suatu hokum yang melindungi rakyat Papua. Bukan hanya itu, migrasi-migrasi yang nyata dan migrasi gelap sangat memojokkan orang asli Papua dari tanahnya sendiri. Apalagi dengan perusahan-perusahan raksasa yang membongkar lahan hidup orang Papua. Jika sudah merasa tersingkir dengan kenyataan kondisi pendidkan dan kesehatan yang buruk, Masyarakat Papua semakin merasa terdiskriminasi oleh proses kebijakan yang tidak memihak.

Keempat, kegagalan pembangunan Papua. Ukurannya sederhana saja, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat. Kenyataan di Papua, mudah sekali kita temukan sekolah yang tidak berjalan. Proses belajar mengajar tidak berjalan efektif, karena tidak ada guru dan juga puskesmas yang kosong karena tidak ada tenaga medis dan obat-obatan. Ini merupakan kegagalan pemerintah yang tidak menciptakan lahan Sumber Daya Manusia Papua yang handal. Di bidang ekonomi, barometer keberhasilan ekonomi sebenarnya ada di rakyat kecil. Mama Papua masih berjualan dipinggir-pinggir jalan dan di emperan tokoh. Mereka ini seharusnya diperhatikan, tetapi itu juga tidak maka di sini terdapat kegagalan kebijakan yang dibuat Negara untuk Papua. Kesehatan pun hampir sama. Dipelosok-pelosok pelayanan kesehatan sangat minim, dan kita bisa lihat rakyat meninggal karena berbagai penyakit yang tidak tertolong secara medis.

Persoalan-persoalan tersebut jika tidak diselesaikan dan diseriusi, maka menjadi jelas bahwa adanya sikap pesimisme pemerintah terhadap penyelesaikan masalah Papua. Akan terkesan pemerintah sedang memelihara penderitaan kolektif rakyat di Papua.

Melampaui Pesimisme
Jelaslah, bahwa langkah-langkah untuk melampaui pesimisme harus segera dilakukan. Kita jelas perlu untuk secara kritis menerima dan mengolah kebijakan-kebijakan yang diterapkan di masyarakat. Pemerintah sebagai yang memiliki kewenangan penuh bertanggung jawab dalam mencari solusi-solusi bermartabat dalam menyelesaikan konflik atau penderitaan rakyat.

Sampai saat ini masyarakat Papua belum pernah puas dan menerima segala kebijakan yang dibuat pemerintah. Malah sikat ketidakterimaan ini diwujudkan dengan aksi-aksi penolakan. Ini pantas saja dilakukan jika kebijakan yang diterapkan pemerintah kalau tidak melibatkan masyakarat.

Pemerintah memang ingin membangun Papua agar Papua bisa bersaing dengan daerah lain, tetapi jika saja kita hilangkan sikap kecurigaan yang selama ini tertanam mungkin bisa terwujud. Bukan hanya itu, tetapi mesti membngun Papua dengan hati. Artinya, membangun Papua mesti memiliki sikap “rasa memiliki”. Sikap yang muncul dari hati untuk benar-benar mau membangun Papua.

Seandainya jika sikap “rasa memiliki” ada dalam benak kita, pasti ada jaminan keamanan dan ketentraman hidup bagi rakyat. hanya saja sikap itu diliputi oleh sikap “kecurigaan”. Kita saling mencurigai dengan pandangan-pandangan negatif, sehingga kebijakan-kebijakan yang diterapkan pun tidak dengan sepenuh hati atau tidak dengan “rasa memiliki”.  karena tidak ditumbuhkan sikap semacam demikian, sehingga tidak heran ketidaksejutuan dari pihak masyarakat selalu muncul.

Kita mengira bahwa sikap penolakan masyarakat itu sebagai penghambat pembangunan, tanpa mengoreksi diri kita dan kebijakan yang kita buat. Di sini menjadi tugas pemerintah dalam menilai diri atau sistem pemerintahan yang ada. Kalau tidak demikian potensi konflik akan terus berlanjut di kubu Jakarta (pemerintah Indonesia) dan Papua.

Presiden dan jajaran pemerintahan Indonesia mesti menghilangkan sikap curiga terhadap rakyat Papua. Maka kalau mau membangun Papua menjadi tanah damai, sikap curiga mesti dibuang dan diasingkan dari benak. Karena tidak mungkin membangun suatu daerah dan menciptakan damai dengan adanya sikap curiga. Kalau sikap curiga masih tumbuh subur dalam diri, tidak mungkin suatu kebijakan akan diwujudkan secara penuh. Mungkin akan terlaksa, tetapi hanya dengan setengah hati, sehingga tidak nampak keberhasilannya.

Sikap curiga mesti dihilangkan dan bersama mencari solusi yang bermartabat demi kedamaian kita bersama. Salah satu solusi yang mesti ditanggapi dengan positif thingking adalah soal dialog. Dialog antara kedua bela pihak yang bermasalah (Jakarta dan Papua) mesti diselesaikan dengan cara bermartabat dan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral. Karena itu, pemerintah mulai dari presiden sampai dengan daerah mesti menghilangkan sikap curiga dan menemukan solusi bersama melalui dialog demi membangun Papua yang aman dan damai. Maka, marilah kita bersama membangun Papua dengan; pertama, menghilangkan pandangan-pandangan negatif terhadap rakyat Papua, kedua, rasa curiga terhadap rakyat Papua, ketiga, menyadari kebijakan-kebijakan yang sudah kita buat tetapi belum mampu menyelesaikan masalah Papua, dengan mencari solusi lain yang ditawarkan oleh JDP (Jaringan Damai Papua) yaitu dialog antara Jakarta dan Papua. Dengan demikian, mari kita hilangkan aroma pesimisme atau kecemasan kolektif dengan berdialog bersama.


*) Alumni STFT “Fajar Timur” Abepura – Jayapura – Papua, tinggal di Timika.
Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."