OTSUS GAGAL, DIALOG JALAN BERMARTABAT


OLEH: Honaratus Pigai


Realitas Yang Muram dan Otsus Gagal

Tidak menjadi rahasia lagi bahwa Orang Asli Papua (selanjutnya ditulis OAP) ditempatkan sebagai musuh negara dengan stigma anggota separatis dan pembuat makar. Stigmatisasi terhadap OAP ini menjadi surat izin resmi bagi aparat militer untuk menangkap, menculik, menyiksa, memenjarahkan, dan bahkan membunuh.

Di atas tanah Papua dengan label stigmatisasi terhadap OAP, pemerintah Indonesia semacam membuka lebar pintu kematian dan pemusnahan bagi masyarakat. Rakyat Papua yang adalah manusia tidak dihargai martabatnya. Manusia dijadikan seperti bukan manusia lagi. Kalau sudah dipandang semacam demikian, manusia Papua sudah tidak berharga di mata pemerintahan negara Indonesia. Ketidakberhargaannya manusia Papua di hadapan pemerintah ini, mengakibatkan manusia Papua harus menelan korban dari tahun ke tahun dan dari masa ke masa. Mulai dari diintegrasikannya Papua ke dalam pangkuan negara Indonesia, Perjanjian New York (1962), rekayasa PEPERA (1969) yang cacat hukum hingga pada saat ini.

Lunturnya penghargaan terhadap martabat manusia Papua, melahirkan berbagai konflik yang menelan korban antara OAP dan Pemerintah Indonesia (militer). Karena martabat Manusia Asli Papua diasingkan oleh aksi yang tidak manusiawi di validitasikan dan itu dipraktekkan oleh Militer terutama saat Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), ini mulai terkuak dalam ingatan. Apalagi sejarah bangsa Papua dimanipulasi dengan berbagai tindakan yang tidak berdasarkan hukum positif (cacat hukum), kini menimbulkan suatu gejolak igatan akan penderitaan yang pernah dialami oleh para pendahulu OAP. Kalau kita menunduk sejenak dan merenungi memoria passionis di masa lalu, tidak sedikit pengalaman penderitaan yang dialami OAP. Tidak ketinggalan juga sekarang, seperti era DOM dahulu, kini DOM itu dibungkus rapih dengan topeng keamanan. Topeng ini dijadikan sebagai kekuatan utnuk menerjunkan Militer dalam jumlah yang banyak di berbagai daerah Papua yang dianggap rawan konflik. Menyebarnya militer di berbagai daerah Papua dengan tugas luhurnya demi keamanan dan keutuhan negara. Tapi keluhuran tugasnya disepak oleh militer sendiri dan menjadi topeng pembungkus kejahatan. Militer tidak mampu lagi mewujudkan tugas luhurnya itu dengan maksimal. Alat negara (senjata) yang ada digenggam di tangannya, dijadikan sebagai alat pembunuh. Apakah militer (manusia) yang salah atau alat negara (senjata) yang salah? Kalau mau mewujudkan tugas luhur itu (keamanan dan keutuhan negara), apakah perlu senjata? Kalau perlu apakah sejata itulah, yang diberi tugas untuk menjaga keamanan dan keutuhan, ataukah yang diberi tugas untuk keamanan dan keutuhan itu manusia? Saya sering pandang aneh kepada para pemegang senjata. Mereka jadikan senjata sebagai subjek. Kalau demikian sudah gila. Karena senjata dijadikan subjek penjaga keamanan dan bukan manusia. Manusia (militer) menjadi objeknya senjata. Kalau demikian pasti tanpa senjata militer tidak mungkin menjalankan tugas keamanannya. Malah mereka lari ketakutan dan malah tidak ingin jadi militer.

Karena itu, akibat militer (manusia) menjadi objeknya senjata, mereka menjaga senjata mati-matian agar terlindung. Saya yakin, kalau yang menjaga keamanan adalah manusia dan bukan senjata, ceritanya pasti lain. Kita tahu ingatan akan penderitaan bagi rakyat Papua masih hangat. Tetapi ingatan itu tambah dipanaskan dengan kehadiran militer yang masih menggenggam senjata. Ini tidak bisa melahirkan situasi yang aman dan tentram. Malah akan terus menambah konflik dan membuka ruang konflik yang tidak sedikit. Maka tidak heran, kalau OAP tidak mau menerima dan selalu menolak militerisme di Papua. Karena militer tidak pernah dan tidak akan menciptakan keadaan aman yang diharapkan.

Realitas demikian menunjukkan bahwa oleh negara Indonesia, martabat manusia Papua sudah tidak masuk dalam daftar manusia (binatang). Manusia dipandang sama dengan binatang. Kalau sudah dipandang demikian, maka secara tidak langsung OAP dinomor duakan atau bahkan tidak ada dalam urutan nomor. Ini suatu penghilangan jati diri dan identitas asali manusia Papua.

Penghilangan ini menumbuhkan gejolak perlawanan kepada pihak yang tidak menghargai manusia. Perlawanan ini masuk akal, karena demi kemanusiaan manusia Papua, bahwa OAP berjuang demi martabatnya sebagai manusia. OAP berjuang demi mengembalikan jati diri dan identitas dirinya sebagai manusia, yang sudah dan sedang dilempar oleh “manusia gila kuasa”. Manusia yang ingin menguasai manusia lain, sambil menyingkirkan sesamanya. Tapi malah pemerintah menanggapi perlawanan rakyat dengan berbagai kebijakan yang hanya membunuh jati diri itu. Otonomi Khusus (Singkatnya, OTSUS) yang diberikan tahun 2001 lalu, dianggap sebagai solusi penyelesaian konflik bagi Papua, malah tidak menunjukkan giginya. Karena memang itu bukan harapan pencapaian jati diri manusia. OAP berjuang dan bersuara bukan karena tidak makan dan minum, tetapi karena jati dirinya sebagai manusia dilumpuhkan. Otsus yang diberikan hanya untuk membungkam perjuangan jati diri atau identitas diri manusia Papua.

Karena itu tidak heran Otsus dinyatakan gagal. Memang Otsus harus gagal dan malah mati. Karena masalah Papua bukan soal kebijakan-kebijakan yang mendatangkan uang atau makan-minum, tetapi lebih dari itu identitas atau jati diri manusia Papua yang sudah lama dibendung. Indentitas dan jati diri manusia Papua yang sudah lama dipenjarakan dalam tubuh negara Indonesia. Tubuh (negara indonesia) harus mati agar jiwa (jati diri/identitas) rakyat Papua bisa bangkit atau bebas dari penjara tubuh (bdk. kata pemikir Yunani Plato).

Maka sangat bijak, bahwa pada Evaluasi Otsus yang diadakan dari tanggal 24-27 Juli 2013, sudah sangat jelas dikatakan tentang kegagan tersebut. Kegagalan dalam membangun jati diri atau identitas manusia, karena dalam era-Otsus pengangkatan, pembangunan atau pengakuan atas jati diri tidak pernah dilakukan. Di media online majalahselangkah.com, dituliskan dengan jelas bahwa Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan Papua Barat telah memfasilitasi wakil-wakil  Orang Asli Papua (OAP) dari tujuh wilayah adat Tanah Papua, wilayah adat Mamta/Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha/Ha Anim, La Pago, dan Mee Pago telah melakukan evaluasi implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua yang diadakan di Hotel Sahid Papua, Jayapura, dengan tema evaluasi "Rapat Dengar Pendapat Dalam Rangka Evaluasi Otonomi Khusus Papua". Dari sejumlah tokoh dan akademisi Papua untuk memaparkan hasil kajian mereka tentang implementasi Otsus selama 12 tahun (2001-2013) itu, secara keseluruhan menilai bahwa Otsus telah mencapai tingkat kegagalan.

Pada evaluasi itu, bukan hanya pelanggaran HAM semata yang dinilai gagal, tapi juga di bidang lain pun ikut gagal, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi kerakyatan, kependudukan dan ketenagakerjaan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, kesejahteraan sosial, keagamaan, kebudayaan dan adat istiadat, hak asasi manusia, politik dan pemerintahan, pengawasan, hukum dan sektor keuangan.

Kalau sudah mengevaluasi kebijakan yang dibuat oleh negara itu gagal, maka di sini dibutuhkan kebijakan yang dimaui rakyat Papua. Kebijakan yang bisa membangun kembali jati diri/identitas diri dari reruntuhan yang selama ini ada. Membangun jati diri/identitas dalam situasi yang aman dan damai. Karena itu mewakili rakyat Papua dalam Evaluasi Otsus (Otonomi Khusus) yang dilakukan dari tanggal 25 sampai 27 Juli 2013 lalu, telah diputuskan dua rekomendasi utama, Pertama, Membuka ruang untuk dialog antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat yang dimediasi oleh pihak netral dan dilaksanakan ditempat netral. Kedua, UU No.21/2001 sebagaimana diubah dengan UU No.35/2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat direkonstruksi setelah melakukan tahapan yang disebut dialog Jakarta-Papua. Rekomendasi ini mesti ditanggapi dan diseriusi oleh semua pihak baik pemerintah negara maupun masyarakat Papua, demi menciptakan keamanan dan kedamaian di Papua.
 
Dialog Jalan Bermartabat

Kita harus akui bahwa negara Iindonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Maka layaklah kedemokrasian negara harus dijunjung tinggi. Hanya menjadi pertanyaan, kalau negara ini adalah Negara demokrasi mengapa kita harus asingkan demokratisasi ini dari aksi-aksi yang tidak demokratis? mengapa kita harus menyingkirkan suara rakyat, dengan membuat benteng stigma separatis dan maker terhadap rakyat yang bersuara? Mengapa kita harus membungkam dan menghukum orang yang bersuara demi keadilan dan kebenaran? Kita mesti sadar dan merenungkan kembali seluruh isi hukum, Undang-Undang Dasar (UUD) dan PANCASILA yang ada dan berlaku sekarang. Supaya bisa mengerti dan membangun negara sesuai dengan nilai-nilai yang ada itu, kita perlu membangun di atas dasar suara rakyat dan bukan suara elit politik.

Jika Indonesia adalah negara demokrasi, maka kita mesti mendengarkan suara rakyat. Suara yang tidak mengandung kepentingan-kepentingan tertentu. Suara yang tidak egois, yang selalu berteriak meminta kedamaian bagi semua orang. OAP tidak ingin konflik terus berlanjut di Papua. Mereka mau agar konflik didialogkan. Dialog antara kubu-kubu yang masih memegang ideologinya masing-masing hingga melahirkan konflik tersebut. Hal ini kita harus seriusi bersama demi menjaukan konflik dari hadapan kita.

Dengan jalan dialog, pasti kemanusiaan manusia Indonesia dan Papua bisa ditemukan. Artinya, orang bisa menemukan solusi-solusi yang dapat membangun kemanusiaan manusia dari reruntuhan akibat konflik yang panjang.

Dialog ini sangat mendesak demi memberantas penderitaan rakyat, karena dialog merupakan jalan bermartabat yang bisa mengambil langkah untuk membangun kedamaian. Karena itu, konflik antara rakyat asli Papua dan pemerintah Indonesia (Jakarta-Papua) harus dibahas dalam dialog yang bermartabat dan yang tidak merugikan satu pihak. Yan Christian Warenussy, Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua Barat, dalam media suarakarya.online.com mengatakan Dialog Papua Jakarta merupakan jalan terbaik yang damai dan bermartabat untuk penyelesaian konflik dan persoalan substansial di Tanah Papua. Dia mengatakan dialog damai Papua-Jakarta merupakan cara yang baik, yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk mencarikan solusi dari berbagai persoalan di Papua dan Papua Barat.  Hal yang sama juga dikatakan oleh Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua dan juga pemerhati umat Allah di Papua, Dr. Benny Giay juga mengatakan, bahwa “Pemerintah Indonesia jangan pura-pura tidak tahu. Pemerimtah harus duduk berdialog secara bermartabat dengan orang Papua. Pemerintah Indonesia mestinya dengar tuntutan rakyat Papua saat ini, dialog Jakarta-Papua. Bukan militer, bukan baku tipu dengan UP4B, bukan juga dengan Otonomi Plus, dan lain-lain.

Maka, jalan dialog antara Jakarta dan Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga dan dilakukan di tempat netral, menjadi jalan yang harus ditempuh. Jalan ini adalah jalan yang bermartabat, karena melaluinya kita mampu mencari solusi yang tidak merugikan satu sama lain. Karena itu, pihak yang bertikai mesti duduk bersama dan membahas kemanusiaan manusia itu demi mencari solusi damai. Karena tanpa duduk bersama untuk membahasnya, mau dan tingak penderitaan rakyat akan berlanjut. Di sini dibutuhkan keseriusan dan persetujuan kita bersama (Jakarta dan Papua) untuk menyelesaikan konflik Papua.


Penulis adalah seorang Frater yang pernah sekolah di STFT “Fajar Timur” Abepura Papua.
Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."