Resolusi Konflik Papua




Honaratus Pigai (*
 
Kita dapat menyimak berbagai pemberitaan belakangan ini terkait dengan situasi-situasi di Tanah Papua. Berbagai macam bentuk kekerasan yang terjadi di Papua memang sangatlah memprihatinkan. Setiap minggu dan bahkan hari, kita kembali mendengar atau bahkan melihat ada korban nyawa terhadap orang Papua berjatuhan.

Situasi ini mungkin bagi warga di luar Papua, kaget dan terhentak, tetapi bagi warga pribumi Tanah Papua, persoalan tersebut sudah bukan hal yang baru. Teror, Intimidasi, stigmatisasi, penyiksaan, pembunuhan dan segala bentuk kekarasaan di Tanah Papua menjadi bagian hidup yang setiap saat mereka hadapi.  

Pernahkah kita bertanya ada apa, mengapa, bagaimana oleh siapa dan untuk apa serta lainnya, sehingga terjadi bentuk-bentuk kekerasan tersebut...?

Ketika mereka berbicara atau bersuara tentang hak mereka, maka yang ada hanya isapan jempol, disertai pernyataan “kamu bagian dari separatis”, “kamu pengacau negara,” ini adalah stigma sosial yang secara langsung menyudutkan masyarakat Papua yang juga merupakan manusia yang seharusnya kita hargai. Dengan stigma yang selalu dilekatkan itu, maka jangan pernah salahkan rakyat Papua, ketika luka dan sakit hati itu dijadikan sebagai sebuah kekuatan rakyat yang sangat besar, dan inilah yang terjadi saat ini, maraknya suara dan pekikan “Merdeka” merupakan bukti nyata, kalau rakyat Papua ingin bebas dan keluar dari segala bentuk diskriminasi yang dilakukan  TNI-Polri yang lupa dirinya, bahwa mereka juga manusia sama serupa dengan masyarakat Papua.

Baru-baru ini, kita semua dikejutkan dengan penembakan di Pania, 8 Desember 2014 yang mnewaskan 5 meninggal dan 22 lainnya terluka. Di Timika, 28 September 2015, yang menewaskan 2 meninggal dan 5 lainnya terluka. Di Timika lagi, 28 Agustus 2015, yang menewaskan 1 meninggal dan 3 lainnya luka-luka. Tindakan aparat tersebut adalah tindakan yang terkutuk, tindakan yang secara langsung menyatakan ketidaksanggupan TNI-Polri  dalam melakukan tugasnya. Tidak ada pendekatan secara nyaman, yang terjadi hanyalah pendekatan dengan kekerasan dan pembunuhan terhadap rakyat sipil di tanah Papua. Ini merupakan kegagalan pengelolaan keamanan negara yang dilakukan oleh TNI-Polri, dimana aparat tidak mampu melakukan pendekatan-pendekatan.

Akar Konflik Papua

Konflik terjadi akibat hubungan di antara dua belah pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.

Eskalasi konflik Papua berakar pada penerapan hukum yang tidak optimal, terutama nilai keadilan. Adanya dominasi yang kuat dari para penguasa sehingga terjadi diskriminasi, stigmatisasi negatif dan marginalisasi pada rakyat asli Papua. Rakyat Papua yang masih traumatis akibat tindakan represif aparat keamanan pada masa lalu, juga merupakan persoalan besar yang dihadapi rakyat Papua.

Selain itu, akar konflik yang amat mendasar adalah tentang integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Pemerintah Belanda telah memisahkan daerah Papua dari Hindia untuk mempersiapkan Papua dan penduduknya untuk Pemerintahan mereka sendiri yang tidak berhubungan dengan Belanda. Selama 10 tahun rencana pembangunan yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1950, UNTEA (United Nation Temporary Administration – Pemerintahan Sementara PBB) bertanggung jawab dalam periode transisi.

Sejalan dengan hal di atas, beberapa persiapan telah dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 1961 bersama dengan beberapa momentum yang penting; Pemerintah Belanda menunjuk anggota masyarakat lokal yang terpilih di Papua sebagai 50% dari Nieuw Guinea Raad (legislatif), bendera bintang Kejora berkibar berdampingan dengan bendera Belanda, dan pengenalan lagu kebangsaan Papua “Hai Tanahku Papua”. Akan tetapi, “Perjanjian New York” pada tahun 1962 yang tidak melibatkan seorangpun dari Papua, dibuat sebagai referensi untuk pengalihan Nederland Nieuw Guinea (Papua) dari Belanda ke Indonesia. Pada tahun 1964 orang asli Papua elite yang berpendidikan Belanda meminta bahwa Papua harus bebas tidak hanya dari Belanda tetapi juga dari Indonesia. Pemungutan suara “pilihan bebas” (free choice) yang diterapkan oleh PBB dilaksanakan pada tahun 1969 dengan melibatkan lebih dari 1000 kepala suku yang dipilih sebagai perwujudan dari “konsultasi” lokal (dari perkiraan jumlah penduduk pada saat itu sebanyak 800.000 orang), dan bukannya dengan mengadakan pemungutan suara; satu orang satu suara.

Masalah keterwakilan politik di atas terkait dengan pendekatan tanpa melibatkan partisipasi penduduk Papua dalam proses pembuatan keputusan dalam keberadaan hidup mereka. Hal tersebut di atas berakibat pada keluhan-keluhan bersejarah yang berakar dari perbedaan persepsi mengenai integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia. Selama sejarah integrasi Papua tidak dianalisis secara kritis dan terbuka guna menemukan sejarah bersama, maka keluhan historis tetap terpelihara.

Akar konflik yang rumit dan sudah tertanam sikap kebobrkan moral dan hukum sejak sejarah integrasi Papua, ditambah tindakan represif aparat keamanan, semakin menyuburkan bibit konflik dan memicu konflik kekerasan tumbuh. Rakyat Papua melakukan perlawanan dengan menampilkan simbol-simbol kebangsaan dan lagu kebangsaan untuk memperkuat barisan perjuangan demi kebebasan. Gugatan pada proses integrasi yang dirasa tak adil kian kuat. Mereka menilai, aparat tak manusiawi dalam memperlakukan rakyat Papua.

Stigma separatis dan pemberontak yang dialamatkan terhadap rakyat Papua yang menuntut keadilan pada pemerintah pusat, seolah dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan.

Sementara itu, pemerintah mengklaim bahwa Papua sudah menjadi daerah istimewa, sama halnya dengan Aceh dan Yogyakarta. Keistimewaan Papua ditunjukkan melalui alokasi anggaran yang besar bagi Papua dan Papua Barat. Pemerintah juga menaruh perhatian besar bagi pembangunan kawasan Papua agar tidak tertinggal dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Dibuatnya kebijakan-kebijakan mulai dari Otonomi Khusus, Otonomi Khusus Plus, dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, yang dijadikan sebagai air pemadam kebakaran terhadap tuntutan keadilan dan kemerdekaan.  

Kebijakan pemerintah untuk Papua seolah-olah selalu mencari penguatan dari waktu ke waktu. Namun, pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan mengatur negara Indonesia, perlu memosisikan diri sebagai inisiator, kolaborator, dan katalisator dalam upaya menciptakan dan menjunjung tinggi keadilan dan kebebasan dari penindasan yang menjadi tuntutan dasar Papua.

Resolusi Konflik

Resolusi konflik merupakan suatu bentuk usaha untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara pihak-pihak yang berkonflik.

Konflik di Papua tidak perlu melalui pendekatan militer. Penanganan konflik dengan cara militeristik harus diubah. Tidak zamannya lagi kita pertahankan pendekatan militeristik. Terbukti pendekatan ini sudah tidak membawa perubahan dan keadaan aman bagi Papua.

Pendekatan lain, melalui kebijakan-kebijakan pemerintah Iindonesia juga tidak meredahkan konflik. Otonomi Khusus, misalnya atau kebijakan lain yang diberikan demi meredan situasi konflik kekerasan, hampir tidak dapat memberikan hal positif. Terbukti, walaupun dari kebijakan ganti kebijakan atau program demi program diluncurkan ke Papua tetapi itu semua bagai kena kosong.

Melihat tingginya tingkat kompleksitas persoalan konflik yang terjadi di Papua, jalan terbaik adalah mengoptimalkan kemauan rakyat dengan pendekatan hati. Pendekatan dengan hati yang intensif dinilai menjadi salah satu alternative. Yang terbaik adalah hadir mendengar keprihatinan dan kamauan rakyat Papua dari hati ke hati.

Tidak cukup kalau hanya hadir dan mendengarkan, lebih dari itu adalah merealisasikan dan mewujudkan kemauan mereka (rakyat Papua) dalam kehidupan di Papua. Semuanya ini demi penegakkan situasi Papua yang adil dan damai. Maka komitmen pemerintah demi keberpihakan bagi kemauan rakyat Papua harus mendapatkan posisi teratas.

*) Pastor dari Timika
Share:
spacer