Tuntaskan Konflik Papua



Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kala (JK) telah menyampaikan komitmen untuk memajukan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan, dan menyelesaikan konflik Papua. Niat baik Presiden Jokowi dan Wapres JK patut diapresiasi dan didukung semua pihak.

Perwujudan niat baik ini menuntut  pemahaman yang benar terhadap konflik Papua. Adalah suatu kekeliruan, apabila konflik Papua direduksi menjadi masalah kesejahteraan belaka atau menyamakan konflik Papua dengan konflik dari daerah-daerah lain di Indonesia.

Tiga Dimensi

Konflik Papua tidak identik dengan konflik Poso, Ambon, Aceh, atau Timor Leste. Konflik Papua dikategorikan unik karena mempunyai tiga dimensi, yakni lokal, nasional, dan internasional.

Pertama, ada sejumlah aspek  lokal yang menyebabkan konflik Papua masih membara hingga kini. Salah satu aspek lokal tersebut adalah masih ada perlawanan orang Papua yang bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap pemerintah Indonesia. Papua menjadi satu-satunya daerah yang mempunyai gerakan separatis.

Konflik vertikal ini dimulai sejak 1 Mei 1963 dan diwarnai berbagai  aksi kekerasan, baik yang dilakukan negara melalui aparatnya yakni TNI dan Polri, maupun OPM melalui Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB).

Konflik ini masih menelan banyak korban nyawa pada kedua belah pihak, mengakibatkan rasa kecurigaan dan tidak saling percaya antara pemerintah dan orang Papua. Ini memperlambat pembangunan di Bumi Cenderawasih.

Kedua, konflik Papua mempunyai dimensi nasional. Pemerintah telah melakukan banyak hal bagi kemajuan Papua. Namun terkadang solusi yang ditetapkan pemerintah, sekalipun  bertujuan luhur dan dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, belum mengakomodasi semua masalah. Selain itu, banyak kebijakan pemerintah ditetapkan tanpa melibatkan rakyat Papua dalam  pembuatannya. Jadi, orang Papua kurang memiliki rasa terhadap semua kebijakan tersebut.

Ketiadaan konsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan yang dibuatnya sendiri, mengakibatkan banyak masalah fundamental di balik konflik Papua belum diselesaikan secara komprehensif. Sebagai contoh, Undang-Undang (UU) Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua telah diberlakukan selama 13 tahun. Namun, konflik Papua masih membara karena pemerintah enggan melaksanakan UU ini secara efektif dan konsisten.

Koordinasi dan sinkronisasi program antara berbagai kementerian/lembaga di Jakarta kurang terlihat. Ini menghambat upaya penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh dan pembangunan yang berkelanjutan di Bumi Cenderawasih.

Ketiga, konflik Papua mempunyai dimensi internasional. Sejarah memperlihatkan Papua merupakan satu-satunya daerah yang bergabung ke Indonesia melalui sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Konflik Papua berada di bawah radar internasional karena kehadiran perusahaan Amerika Serikat seperti PT Freeport Indonesia, yang mengeksploitasi tembaga dan emas di Provinsi Papua, juga perusahaan Inggris, British Petrolium (BP), melalui proyek Tangguh yang mengeksploitasi LNG (liquified natural gas) di Provinsi Papua Barat.

Perlu disebutkan juga, masalah Papua telah menjadi masalah rakyat dan pemerintah di negara-negara Melanesia seperti Papua Nugini, Kepulauan Salomon , Fiji, dan Vanuatu yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG). Para pemimpin negara-negara MSG dalam pertemuannya pada Juni 2012, mendukung penuh pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri bagi Papua. Dengan demikian, hal sekecil apa pun yang terjadi di Papua dapat saja menarik sorotan internasional. Hal ini dipermudah oleh sarana komunikasi yang canggih.

Ketiga dimensi ini menantang pemerintah untuk bertindak bijaksana. Apalagi, masalah Papua sudah berkembang menjadi “duri dalam daging” pemerintahan, yang dapat mengganggu ketenteraman Indonesia kapan saja.

Tim Khusus

Berdasarkan pengalaman pada pemerintahan lalu, pemerintahan Jokowi-JK perlu melibatkan semua pemangku kepentingan ketika ingin mencari dan menghasilkan suatu solusi yang komprehensif dalam bentuk kebijakan bagi  Papua.

Untuk itu, pemerintah pusat perlu membentuk tim yang terdiri atas dua orang. Mereka adalah orang yang mesti dipercayai Jokowi-JK. Tim ini ditugaskan mengatur mekanisme dan tahapan dialog yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

Tim ini dapat mengoordinasi rangkaian pertemuan bagi setiap kelompok pemangku kepentingan  baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Tim ini dapat menyelenggarakan pertemuan konsultatif bagi semua kementerian dan lembaga di Jakarta, para pemimpin kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota dari Provinsi Papua dan Papua Barat, para tokoh OPM yang ada di luar negeri, serta bagi berbagai kelompok masyarakat sipil di Tanah Papua.

Dalam semua pertemuan ini, setiap kelompok aktor secara bersama dapat berpartisipasi dalam mengidentifikasi permasalahan, membahas solusi-solusi yang realistis, dan menentukan kontribusi dari setiap kelompok pemangku kepentingan untuk menciptakan perdamaian di Bumi Cenderawasih.

Rangkuman dari pertemuan-pertemuan ini dapat digunakan sebagai materi, untuk dibahas dan disepakati bersama dalam dialog antara para wakil dari pemerintah dan OPM. Dengan demikian, semua pihak merasa memiliki terhadap  pembuatan dan kesepakatan yang dicapai dalam dialog. Hal ini, pada gilirannya, mendorong semua pihak untuk menyambut, bertanggung jawab, dan terlibat dalam mengimplementasikan kesepakatan dialog. Dengan demikian, penyelesaian konflik Papua menjadi usaha bersama dari semua pemangku kepentingan.

Pastor Neles Tebay adalah dosen STFT Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Jayapura.
Tulisan ini telah diterbitkan disinarharapan.com pada 30 Oktober 2014
Copyright © Muye Voice. Designed by OddThemes